REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi mengatakan gagasan awal penyusunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja justru ditujukan untuk menangkal gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Gelombang PHK berpotensi muncul menghadapi revolusi industri 4.0.
"Saat itu dikhawatirkan terjadi gelombang PHK karena banyak tenaga kerja kita belum punya literasi teknologi informasi (IT) dan digital," kata Tadjuddin saat dihubungi di Yogyakarta, Ahad (11/10).
Tadjuddin yang mengaku telah terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja sejak 2018 mengatakan bahwa respons terhadap gelombang PHK memang diperlukan karena memasuki revolusi industri 4.0 berbagai pekerjaan di perusahaan bisa tergantikan dengan teknologi. Namun, lanjut Tadjuddin, di tengah proses penyusunan RUU tersebut, pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi merosot drastis hingga minus dan gelombang PHK justru muncul lebih awal mendahului prediksi sebelumnya. Demi membantu para buruh atau pekerja yang kena PHK maupun dirumahkan menghadapi situasi itu, menurut dia, pemerintah kemudian membuat program bantuan langsung tunai (BLT) subsidi gaji hingga kartu prakerja.
"Tapi tentu ini tidak bisa lama, kalau diteruskan seperti itu keuangan negara kita akan habis," kata guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.
Dalam situasi krisis saat ini, kata Tadjuddin, tidak ada cara lain, kecuali mendatangkan investasi untuk kembali memulihkan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air yang nantinya juga berimplikasi pada aspek ketenagakerjaan. Untuk mendatangkan investasi, menurut dia, UU Cipta Kerja yang sebelumnya masih dalam proses harus segera dirampungkan karena UU Ketenagakerjaan Tahun 2013 tidak ramah investor.
Apabila UU Ketenagakerjan yang lama tetap dipakai, Tadjuddin meyakini tidak akan ada investor yang mau datang ke Indonesia. Jika demikian, pertumbuhan ekonomi di tengah situasi pandemi akan terus minus.
"Padahal untuk menciptakan peluang kerja, pertumbuhan ekonomi harus di atas 5 persen. Kalau pertumbuhan satu persen hanya bisa menciptakan 200 ribu peluang kerja per tahun, dan jika lima persen maka membuka peluang satu juta per tahun," kata dia.
Ia mengatakan UU Cipta Kerja merupakan payung hukum. Dalam penerapannya, masih membutuhkan aturan turunan mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen). Tadjuddin menyayangkan banyak pihak yang tidak memahami secara menyeluruh mengenai substansi UU Cipta Kerja beserta tujuannya. Apalagi, penjelasan yang terlanjur beredar di masyarakat justru diwarnai disinformasi atau hoaks.
Dosen Fisipol UGM ini berharap pemerintah dapat lebih baik dalam mengomunikasikan ihwal UU Cipta Kerja ini kepada publik. "Seperti penghapusan cuti hamil, dan lainnya itu hoaks karena belum ada. Kalau tidak ada tanda tangan presiden maka itu hoaks. Enggak akan mungkinlah buat UU hanya untuk mencelakakan warganya," kata Tadjuddin.