REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Uji produk yang digagas organisasi konsumen nonprofit Amerika Serikat, Consumer Reports, menunjukkan hasil mengejutkan. Sejumlah merek populer minuman kemasan dalam botol disinyalir mengandung senyawa kimia berbahaya.
Studi tersebut dilakukan karena masyarakat AS sangat gemar mengonsumsi minuman kemasan dalam botol. Berdasarkan statistik industri, jumlah konsumsinya mencapai miliaran galon setahun, melebihi kopi, teh, soda, dan jenis minuman lain.
Consumer Reports menguji 47 minuman kemasan dalam botol, terdiri dari 35 minuman nonkarbonasi dan 12 minuman karbonasi. Hasilnya, level senyawa kimia berbahaya Perfluoroalkyl chemicals (PFAS) melebihi batas rekomendasi yang dianjurkan.
"Bahan kimia ini disebut 'bahan kimia selamanya' karena cara penyatuannya membuat senyawa sulit untuk dipecah. Senyawa bertahan sangat, sangat lama," kata Direktur Penelitian dan Pengujian Keamanan Pangan Consumer Reports, James Rogers.
Organisasi mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) dan Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) meninjau kembali penerapan standar wajib PFAS untuk semua minuman yang menjangkau konsumen. Pasalnya, ditengarai ada banyak pelanggaran aturan.
PFAS yang merupakan sekelompok bahan kimia buatan manusia, memang digunakan dalam banyak produk karena tahan terhadap minyak, air, dan panas. Senyawa ditemukan di minuman kemasan, peralatan masak antilengket dan produk rumah tangga.
Ada sekitar 5.000 jenis PFAS yang berbeda, menyebabkan kondisi kesehatan serius jika terakumulasi. Pada eksperimen terhadap fauna, penumpukan dua bahan kimia PFAS meningkatkan risiko kanker, cacat lahir, efek imunologis, dan penyakit lainnya.
Paparan tingkat rendah PFAS untuk manusia belum sepenuhnya dipastikan. Dengan kondisi itu, EPA menyarankan batas aman kandungan FPAS adalah kurang dari bawah 70 bagian per triliun, untuk dua bahan kimia PFAS yang paling banyak dipelajari.
Asosiasi Minuman Kemasan dalam Botol Internasional mengadopsi standar yang lebih ketat untuk anggotanya. Produk hanya boleh mengandung lima bagian per triliun untuk satu senyawa PFAS dan 10 bagian per triliun untuk lebih dari satu senyawa.
Menurut para pakar, level PFAS semestinya lebih rendah, yakni hanya satu bagian per triliun. Batasan tersebut yang menjadi pertimbangan utama pemerintah untuk ditetapkan sebagai standar peraturan wajib bagi semua produk.
Sementara, hasil pengujian Consumer Reports menemukan dua dari 35 minuman nonkarbonasi yang diuji melebihi ambang satu bagian per triliun PFAS. Tujuh dari 12 minuman berkarbonasi yang diuji juga terbukti melebihi ambang satu bagian per triliun.
Tes difokuskan pada 30 bahan kimia PFAS dan empat logam berat, yakni arsenik, kadmium, timbal dan merkuri. Untuk tingkat logam berat, ada satu produk yang mengandung tingkat arsen tiga kali lipat melebihi batas yang direkomendasikan.
Asosiasi Minuman Kemasan dalam Botol Internasional menyebut laporan Consumer Reports menyesatkan dan semestinya tidak perlu membuat takut konsumen. Mereka mempertanyakan metode pengujian yang digunakan dan menuduhnya tidak akurat.
Sementara, masing-masing jenama yang diuji memberikan keterangan berbeda secara terpisah. Merek Tourmaline Spring mengatakan jumlah PFAS dalam produk air kemasannya ada di bawah level yang ditetapkan oleh IBWA dan semua negara bagian.
Nestlé, produsen Deer Park, telah melakukan pengujian terbaru dan tingkat PFAS tidak terdeteksi. Pernyataan serupa dibuat merek Poland Spring and Perrier yang juga ada di bawah naungan Nestlé, juga mendukung upaya aturan batasan di tingkat federal.
PepsiCo, pembuat Bubly, tidak menanggapi hasil uji. La Croix dan Canada Dry mengatakan level senyawa kimia mereka memenuhi persyaratan. Topo Chico, yang dibuat oleh Coca-Cola, mengatakan akan terus melakukan perbaikan dan peningkatan standar produk. Demikian pula yang disampaikan Whole Foods.
"Prioritas tertinggi kami adalah menyediakan air minum yang aman, berkualitas tinggi, dan menyegarkan bagi pelanggan," ujar pemilik Whole Foods, dikutip dari NBC Washington, Senin (12/10).