Selasa 13 Oct 2020 05:07 WIB

Umat Islam dan UU Omnibus Cipta Kerja yang Konyol

UU Omnibus Konyol dan hanya bela kepentingan pemodal

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berbicara sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/9).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berbicara sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/9).

IHRAM.CO.ID, Oleh Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara

Apa jenis pekerjaan baru yang diciptakan UU ini? Apa kreasi baru dalam UU ini yang benar-benar sebagai cara memenuhi hak-hak konstitusional warga negara? Apakah UU ini pantas dijadikan sandaran warga negara membangun harapan merancang hidup yang lebih baik di masa yang akan datang? Kabur. Ini menjadi penyebab terbesar rakyat memprotes. 

Para pemuka agama, para guru besar hukum dan lainnya, buruh, mahasiswa dan pelajar, tertusuk nalarnya. Tragisnya Presiden, figur yang pada awal kemunculannya diapresiasi beberapa kalangan berpendidikan sebagai manusia sederhana, jauh dari kubangan politik Orde baru, menyepelekan semua identifikasi mereka.

Identifikasi  

Para tokoh umat Islam misalnya, mengidentifikasi potensi konflik agraria dan lingkungan hidup dalam UU yang pengesahannya bermasalah secara konstuitusi itu. Ini tidak dapat dimengerti. Mengapa? Sebelum UU Omnibus ini saja, begitu kalangan ini mengidentifikasi, telah terjadi sedikitnya 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat. Kriminalisasi itu merupakan  akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya dalam lima tahun terakhir. 

Menurut mereka, potensi tersebut rawan terjadi setelah dilakukan sejumlah perubahan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Misalnya perubahan Pasal 82, 83 dan 84 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang masuk dalam Pasal 38 UU Cipta Kerja.

Pasal tersebut, dalam pandangan mereka berkaitan dengan sejumlah soal. Soal-soal itu meliputi ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan. 

Tak hanya itu, mereka menilai UU Cipta Kerja juga berpotensi memangkas ruang hidup kelompok nelayan, petani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Aturan ini, kata mereka  akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan (lihat CNN Indonesia.com, 6/10/2020).

KH Said Aqil Siradj tegas menyatakan UU ini hanya menguntungkan kapitalis. Bagi Kia Aqil UU ini menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil. Pernyuataan ini dilansir dari situs resmi nu.or.id (7/10/2020).

Kia Aqil tidak sendirian dalam soal ini, Dr Anwar Abas, Sekjen MUI juga memiliki penilaian yang mirip. "Saya, kata Profesor Abas, lihat dalam pembahasan RUU cipta kerja ini situasi seperti itulah yang sangat, sangat tampak oleh saya. UU ini, kata Ustad Anwar benar-benar kelihatan lebih banyak membela kepentingan pemilik modal dan sangat mengabaikan kepentingan rakyat luas.

Tak hanya soal pemilik modal, Anwar juga menduga ada ketakutan anggota Dewan kepada pimpinan partai politik yang mendukung pengesahan Omnibus Law. Jika berseberangan dengan pimpinan parpol, Anwar menyebut anggota DPR bisa diberhentikan atau terkena Pergantian Antar-waktu (PAW) (lihat CNNIndonesia, 6/10/2020).

Hal-hal diatas dikemukakan sekadarnya sebagai  ilustrasi kecil atas kelemahan dan jahatnya UU ini. Saya tidak ingin menambah daftar kelemahannya, karena telah begitu jelas diidentifikasi oleh berbagai kalangan. 

Pemerintah disisi seberangnya, menyangkal semua panilaian diatas. Pemerintah memang bukan ahli menyesatkan, juga bukan jagoan merekayasa persetujuan masyarakat, metode yang telah dipraktikan sejak seabad lalu di Amerika, menilai terlalu banyak hoax. Hoax itu mengakibatkan bias penilaian masyarakat. 

Ada ratusan korporasi yang akan masuk berinvestasi di Indonesia menyusul disahkannya UU ini, kata Ketua BKPM, Bahlil. Hal senada juga didentifikasi Agus Gumiwang Kartasasmita, menteri Perindustrian. Buruh akan hebat dan sejenisnya, terus-terusan disajikan pemerintah.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement