REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-undang Cipta Kerja dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya konversi lahan secara besar-besaran. Hal ini mengingat banyaknya kasus konflik agraria yang terjadi di lokasi Proyek Strategis Nasional berada, seperti pembangunan jalan tol, bandar udara, dan proyek-proyek lainnya.
Pasal 122 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B), diubah menjadi: "Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), pasal ini akan mendorong terjadinya konversi lahan pertanian, mengingat sebelum adanya UU ini sudah banyak regulasi yang mengizinkan untuk meratakan kawasan pertanian produktif atas nama proyek infrastruktur dan kepentingan umum.
"UU ini banyak mengizinkan soal ketelanjuran, bukan hanya kawasan pangan ditabrak, tapi juga kawasan perkebunan dalam kawasan hutan. Ini alih-alih ditertibkan justru diberikan ruang untuk pemutihan," kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial -Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana pada Republika.co.id, Senin (12/10).
Menurut Wahyu, ada dua hal yang hilang ketika semua hal ditabrak demi proyek infrastruktur, yaitu hak masyarakat dan lingkungan. Berdasarkan catatan Walhi, telah terjadi banyak pergusuran lahan pertanian produktif untuk infrastruktur.
Bahkan hal ini diakui sendiri oleh Presiden Jokowi yang beberapa bulan lalu mengatakan bahwa banyak bandara yang mengusur lahan pertanian produktif dan berakibat pada krisis pangan."Sudah gitu bandaranya tidak laku, karena atas nama kebutuhan infrastruktur nyatanya kemudian masyarakat tidak berangkat dari kebutuhan itu," tambah Wahyu.
Dalam konteks pangan, UU ini menunjukkan bahwa negara justru memilih menyerahkan pengelolaan pangan terhadap korporasi. Ia menyebutkan ada beberapa proyek pembukaan food estate yang diserahkan kepada korporasi, salah satunya di Kalimantan Tengah.
Menurut catatan Walhi, proyek food estate yang tidak diserahkan ke petani malah gagal dan berujung kepada pengadaan bahan pangan melalui impor. Ketika impor terjadi, petani menjadi dua kali dirugikan yakni dari segi harga juga lahan pertanian yang tersisa akan rusak.
"Apakah kemudian hilangnya banyaknya lahan pertanian punya ancaman terhadap impornya makin tinggi, iya, tapi kan pertanyaannya apakah negara menjadikan itu pertimbangan utama atau hanya sebagai angka statistik," kata Wahyu.
Hal ini yang menyebabkan bukan hanya buruh atau aktivis lingkungan yang menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja, tetapi petani juga. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), tidak hanya mengancam reforma agraria di Indonesia, UU Cipta Kerja juga memuat pasal-pasal yang mengancam tegaknya kedaulatan pangan di Indonesia.
UU Cipta Kerja memasukkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang hendak diubah dan mengalami penyederhanaan perizinan. "Pasal-pasal yang hendak dihapuskan di dalam UU Cipta Kerja justru bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan dan menyulitkan kedaulatan pangan diwujudkan di Indonesia," ujar Ketua Umum SPI Henry Saragih.
Pengubahan pasal dalam UU PLP2B yakni pada pasal 44 ayat (2), dimana frasa ‘Proyek Strategis Nasional’ dinilainya akan menjadi ancaman tersendiri bagi ketersediaan lahan pertanian di Indonesia, mengingat banyaknya konflik agraria akibat proyek-proyek infrastruktur.
Dari pasal-pasal yang diubah dalam UU Cipta Kerja, SPI melihat implikasi hal tersebut terhadap rusaknya fondasi kedaulatan pangan di Indonesia. Ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang sebelumnya memproteksi produk petani dalam negeri, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, mengalami perubahan, penambahan pasal, bahkan penghapusan frasa.
"Hal ini menunjukkan UU Cipta Kerja jelas tidak memiliki keberpihakan terhadap para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan, karena justru menguliti perlindungan-perlindungan yang selama ini menjamin hak petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan," tutur Henry.
Ia juga menyoroti Pasal 31 UU Cipta Kerja yang mengubah dan menghapus beberapa pasal dalam UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB). UU SBPB sendiri merupakan UU yang baru saja disahkan pada rapat paripurna September 2019 lalu.
Pasal 111 dalam UU SBPB dihapus menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengizinkan adanya konversi lahan hak ulayat. Pasal ini sebelumnya mengatur ketentuan tentang sanksi bagi Pelaku Usaha yang menggunakan lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
UU Cipta Kerja lantas mengganti sanksi tersebut dengan sanksi yang lebih longgar, yang dicantumkan dalam pasal 22, berupa sanksi administratif seperti: a. penghentian sementara kegiatan; b. pengenaan denda administratif; c. paksaan Pemerintah; d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau e. pencabutan perizinan berusaha.
Konflik lahan tentunya berimplikasi kepada produksi pangan yang berujung pada pengizinan impor yang berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dalam UU Pangan diubah. UU Cipta Kerja menghapuskan frasa 'mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan'.
SPI mendesak kepada pemerintah untuk tetap fokus melanjutkan program maupun kebijakan strategis yang berhasil menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan dunia usaha. Program strategis yang dimaksud adalah Reforma Agraria dan kebijakan pertanian untuk tegaknya Kedaulatan Pangan, yang sesuai dengan konstitusi dan Nawacita, serta telah terbukti memberikan kemaslahatan dan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia.