REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Indira Rezkisari*
106.774.112 orang.
Saya baru tahu kalau ada lebih dari 106 juta orang yang akan memberikan suaranya di Pilkada serentak akhir tahun ini di Indonesia. Jumlah 106 juta itu adalah berdasarkan data yang dibuat KPU pada pertengahan tahun ini untuk Pilkada yang akan digelar di 270 provinsi dan kabupaten/kota.
Wow. Sungguh saya tidak mengira jumlah pemilihnya akan sebanyak itu.
Pilkada di tengah pandemi adalah sesuatu yang terus terang tidak memicu minat saya sebagai calon pemilih di Pilkada tahun ini. Sebatas tahu siapa calonnya, iya tentu tahu. Saya pasalnya lebih memikirkan soal efek Pilkada dalam kaitannya dengan Covid-19.
Demo Omnibus Law UU Ciptaker kemarin saja sudah membuat semua orang ketar-ketir. Potensi munculnya klaster dari demo sudah disebut-sebut oleh Satgas Penanganan Covid-19 Nasional sangat mungkin terjadi.
Bayangkan saja ribuan orang ini berkumpul tanpa melakukan pembatasan jarak dan sebagian bahkan tidak melindungi dirinya dengan masker. Perkiraannya klaster demo akan muncul pada dua pekan setelah gelombang demo berakhir.
Padahal peserta demo mungkin hanya puluhan ribu saja, ya, di seluruh Indonesia. Oke, kita patok ratusan ribu lah. Bayangkan ribuan orang pulang ke rumah pascademo yang tidak memikirkan jarak fisik dan menggunakan masker. Dari situlah klaster mungkin tercipta.
Kembali ke Pilkada. Pilkada tentu berbeda dengan demo. Saat Pilkada kampanye diatur oleh KPU, paling banyak acara pengumpulan massa hanya dibatasi maksimal 50 orang. Sisanya harus dilakukan secara daring. Pengumpulan massa juga masih dikungkung lagi dengan aturan hanya berlaku di daerah-daerah yang jaringan internet sangat buruk.
Tapi lihatlah kemarin saat proses pendaftaran calon peserta Pilkada dibuka. Apa yang terjadi? Kumpulan massa mengiringi pasangan calon mendaftar ke KPU. Di mana aturan harus mematuhi protokol kesehatan? Ya mungkin disingkirkan dulu. Karena di Indonesia Pilkada adalah show of force. Tanpa keramaian jangan-jangan ada persepsi, dia adalah calon yang tidak diminati.
Pada masa pendaftaran, KPU mencatat ada 63 calon terpapar Covid-19. Bahkan ada setidaknya tiga calon kepala daerah yang meninggal akibat Covid-19. Bukan hanya mereka yang terinfeksi, anggota KPU dan Bawaslu di sejumlah daerah di Indonesia dan pusat juga tak lepas dari paparan positif Covid-19.
Siapkah Indonesia menjalani Pilkada di saat pandemi?
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Nasional, Doni Monardo, mengatakan Pilkada tak akan menghasilkan klaster baru selama masyarakat patuh protokol. Apalagi saat ini terdapat 14 provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada dan tak masuk dalam kategori zona merah.
Pemerintah memang berulang kali beralasan menggelar pemilihan saat pandemi bukan hanya dilakukan di Indonesia. Pemerintah memberi contoh sejumlah negara lain yang sukses menjalankan pemilu dan tidak menciptakan tambahan kasus baru yang signifikan.
Mari kita lihat Malaysia. Akhir bulan lalu di Sabah, Malaysia, digelar Pilihan Raya Negara (PRN). Jumlah pemilih yang berhak memberikan suaranya mencapai 1,08 juta jiwa. Mungkin akibat pandemi hanya sekitar 67 persen masyarakat Sabah yang memberikan suara di PRN. Angka yang disebut sangat baik mengingat pemilihan tersebut digelar di tengah pandemi.
Tolong dicatat Malaysia hingga 13 Oktober 2020 pukul 12.00 merupakan negara dengan 16.880 kasus positif Covid-19. Di Sabah pada khususnya terdapat 5.064 kasus positif Covid-19 dengan 39 kematian per data tanggal 13 Oktober 2020.
Dari pemilu di akhir September, Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Dr Noor Hisham Abdullah, mengatakan dua pekan kemudian atau pada 13 Oktober menyatakan telah terjadi 23 klaster Covid-19 di Malaysia yang terkait dengan Sabah.
Setidaknya 394 kasus positif ditemukan tes terhadap 18.478 orang yang meninggalkan Sabah ke daerah lain di Malaysia sejak 22 September. Bahkan, meskipun Kementerian Kesehatan Malaysua melakukan skrining terhadap semua orang yang keluar dari Sabah sejak 27 September dan memberlakukan perintah berada di rumah sampai hasilnya keluar negatif, kasus baru dan klaster yang terkait Sabah masih terjadi.
Pemerintah Malaysia juga langsung memberlakukan kembali lockdown skala wilayah. Termasuk di Kuala Lumpur yang berlaku mulai 14 Oktober 2020.
PM Malaysia sendiri telah mengakui meski aturan protokol kesehatan ketat telah dibuat, tapi banyak ditemukan pelanggaran. Seperti masker yang longgar ketika kampanye berlangsung.
Pemilu Sabah, 1 juta pesertanya. Pilkada di Indonesia 106 juta pesertanya.
Oh iya, kita juga harus ingat kalau Malaysia dikenal memiliki kebijakan lockdown yang ketat di awal-awal pandemi. Di sejumlah kawasan yang lockdown bahkan masyarakat tidak boleh keluar rumah sama sekali. Makanan diberikan oleh pemerintah sebagai tanggung jawab memberlakukan lockdown. Di sejumlah kawasan di Sabah kebijakan tersebut kembali berlaku.
Sekadar tambahan pemikiran, saat ini sebuah kota pelabuhan di China yaitu Qingdao juga sedang memberlakukan tes massal bagi sembilan juta penduduknya. Alasannya telah ditemukan 12 kasus baru Covid-19 yang masuk dalam kelompok transmisi lokal atau ditularkan dari penduduk lokal ke penduduk lokal lainnya dalam wilayah.
Bagi China, tes massal alias jutaan tes usap warga adalah upaya yang paling cost efficient atau ekonomis ketimbang lockdown. Tiap negara memang memiliki kebijakan berbeda, ya.
Tapi yang pasti, Malaysia dan China masuk dalam kategori negara yang cukup berhasil mengontrol laju Covid-19. Bukti mudahnya, di Malaysia dan China anak-anak sudah kembali ke sekolah.
Jadi bagaimana Indonesia? Siap menghadapi klaster Pilkada?
* Penulis adalah jurnalis Republika.co.id