Rabu 14 Oct 2020 06:55 WIB

ULN Indonesia Membengkak, Pemerintah Pastikan Fiskal Terjaga

Utang luar negeri Indonesia pada tahun lalu tumbuh enam persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Utang pemerintah Indonesia pada 2020.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Utang pemerintah Indonesia pada 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah memastikan, profil utang luar negeri Indonesia masih dalam kondisi terjaga. Beberapa indikator utang menunjukkan situasi yang dapat dikelola. Salah satunya, rasio utang internasional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menjelaskan, sampai dengan akhir kuartal kedua, rasio utang luar negeri Indonesia mencapai 37,3 persen. "Ini masih terjaga, jadi sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/10).

Baca Juga

Pada tahun lalu, utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai 402,08 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.900 triliun dengan nilai tukar Rp 14.732 per dolar AS. Data ini tercatat dalam laporan Statistik Utang Internasional yang dirilis Bank Dunia pada Senin (12/10).

Iskandar mengakui, jumlah tersebut mungkin saja bertambah pada tahun ini dan beberapa tahun mendatang seiring dengan penanganan pandemi Covid-19. Kebutuhan belanja tetap tinggi di tengah tekanan terhadap penerimaan negara.

Tapi, Iskandar menyebutkan, potensi pertumbuhan utang luar negeri dapat ditekan seiring penyuntikan vaksin Covid-19 yang ditargetkan dilakukan pada akhir tahun ini dan kuartal pertama 2021. "Maka, recovery ekonomi kita bisa lebih cepat karena permintaan domestik kita akan tumbuh dengan penduduk lebih dari 240 juta jiwa," tuturnya.

Dengan pemulihan permintaan dalam negeri yang cepat, Iskandar menjelaskan, penerimaan negara melalui perpajakan juga akan mengalami perbaikan. Situasi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro.

Iskandar meyakini, akselerasi pemulihan dapat terjadi dengan penyederhanaan perizinan usaha melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi yang baru disahkan bersama DPR pada Senin (5/10) ini akan mendorong pertumbuhan investasi usaha dari skala mikro hingga besar.

Berdasarkan situasi ini, Iskandar menekankan, posisi utang luar negeri maupun utang secara keseluruhan tidak perlu dicemaskan. "Kebijakan utang kita relatif masih konservatif dibandingkan negara lain," ucapnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin juga menyebutkan, risiko fiskal Indonesia secara jangka panjang masih tetap terjaga. Hal ini disampaikan meskipun pertumbuhan utang luar negeri pada tahun lalu mencapai enam persen secara tahunan (year on year/ yoy).

Salah satu alasannya, Masyita mengatakan, porsi utang valuta asing masih terjaga dan profil jatuh tempo utang masih terbilang aman. Menurut catatannya, per 31 Agustus 2020, porsi utang valuta asing Indonesia masih terjaga di kisaran 29 persen. "Sehingga, risiko nilai tukar lebih manageable," tuturnya.

Selain itu, Masyita menambahkan, profil jatuh tempo utang pemerintah juga masuk dalam kategori aman dengan ATM 8,6 tahun per Agustus 2020. Level itu turun dibandingkan dua tahun terakhir yang masing-masing mencapai 8,4 tahun pada 2018 dan 8,5 tahun pada 2019.

Tapi, Masyita memastikan, pemerintah tetap akan memitigasi risiko fiskal akibat utang, terutama pada portofolio utang. Berbagai strategi aktif juga terus dilakukan meliputi buyback, debt switch dan konversi pinjaman.

Secara umum, pemerintah juga terus melakukan pengembangan pasar domestik. Di antaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN. "Manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo utang pun terus dilakukan," kata Masyita.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement