REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) melakukan studi kasus terkait jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya atau voter turnout terhadap 40 negara yang menggelar pemilu dalam kondisi pandemi Covid-19. Pemilu dilakukan saat pandemi membawa risiko penurunan tingkat partisipasi pemilih sekitar 10 persen.
"Penyelenggaraan pemilu di masa pandemi membawa risiko penurunan tingkat partisipasi pemilih sebanyak kira-kira 10 persen," ujar Senior Manajer Program International IDEA, Adhy Aman dalam konferensi nasional virtual, Rabu (14/10).
Ia mengatakan, tidak semua negara atau wilayah yang menggelar pilkada kala pandemi mengalami penurunan, ada juga yang mengalami peningkatan partisipasi pemilih. Namun, secara jumlah tetap lebih banyak yang mengalami penurunan.
Menurut Adhy, ada tiga faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Pertama adanya metode pemungutan suara alternatif, konteks politik, dan momen penyelenggaraan pemilihannya.
"Jadi, kapan pemilihan diselenggarakannya juga menentukan tingkat partisipasi pemilih," kata Adhy.
Ia menuturkan, pertimbangkan penggunaan cara-cara yang dapat menjamin partisipasi dan keselamatan pemilih seperti metode pemungutan suara alternatif dan pengetatan manajemen risiko. Namun sayangnya, kata dia, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur metode pemungutan suara alternatif seperti pemilihan melalui pos, kotak suara keliling, atau pemilihan pendahuluan/early voting.
"Perlu digarisbawahi di sini, kalau belum diterapkan sayangnya beberapa hal mungkin terlambat untuk pilkada 9 Desember," tutur Adhy.