REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Dulu sering menulis isu narkoba dan HIV/AIDS. Menurutku narkoba itu sangat berbahaya. Pembaca harus diedukasi agar tak terjerumus menggunakan barang haram itu.
Berdasarkan pengalamanku mewancarai banyak pengguna narkoba, jalur masuknya biasanya melalui rokok. Setelah merokok, lalu mengisap ganja, dan terakhir mengonsumsi putaw. Ujung-ujungnya, banyak juga yang tertular HIV/AIDS karena pengunaan jarum suntik yang bergantian saat memakai putaw, atau juga seks bebas.
HIV/AIDS itu tak kalah berbahayanya dengan narkoba. Sampai sekarang belum ada obatnya.
Tahun 2004 aku dan sejumlah teman wartawan melakukan liputan di Makassar, Sulawesi Selatan. Kali ini aku akan menulis HIV/AIDS di kalangan waria.
Walaupun meliput bersama, kami punya fokus yang berbeda. Aku sengaja ingin melihat bagaimana penularan dan pencegahan HIV AIDS di kalangan waria. Ada teman yang fokus menulis wanita tuna susila.
Mencari narasumber waria bukan persoalan mudah bagiku. Apalagi aku bukan bagian dari mereka. Dan aku juga tidak pernah berhubungan dengan kalangan itu. Ditambah lagi, aku tidak tahu seluk beluk Kota Makassar.
Untunglah kami berangkat dengan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional (KPAN) yang memang punya jaringan sampai ke daerah. Melalui KPAN aku mendapat seorang pemandu liputan yang bisa membawaku ke komunitas waria yang ‘berjualan’ di Lapangan Karebosi.
Pemanduku adalah seorang aktivis HIV/AIDS di Kota Makassar. Dia biasa melakukan penjangkauan program HIV/AIDS kepada para transgender. Jadi aku mendapatkan orang yang tepat.
Karebosi adalah sebuah lapangan bola yang terletak di tengah Kota Makassar. Lokasinya berada di Jalan Ahmad Yani, sekitar 500 meter dari Benteng Fort Rotterdam. Kini dekat lapangan itu sudah berdiri mal besar.
Dulu, saat siang hari lapangan Karebosi digunakan sebagai tempat bermain bola dan aktifitas warga. Tapi ketika malam tiba, lapangan itu ‘dikuasai’ para waria.