Friday, 18 Jumadil Akhir 1446 / 20 December 2024

Friday, 18 Jumadil Akhir 1446 / 20 December 2024

Dinasti Politik Banyak Terjadi pada Era Kepemimpinan Jokowi

Jumat 16 Oct 2020 07:33 WIB

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani

Sejumlah massa yang mengatasnamakan Gerakan Peduli Simalungun (GPS) menggunakan pakaian adat Batak Simalungun saat berunjuk rasa di depan kantor PDI Perjuangan Sumut, Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/6/2020). Dalam aksinya mereka meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada khususnya di Sumatera Utara

Sejumlah massa yang mengatasnamakan Gerakan Peduli Simalungun (GPS) menggunakan pakaian adat Batak Simalungun saat berunjuk rasa di depan kantor PDI Perjuangan Sumut, Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/6/2020). Dalam aksinya mereka meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada khususnya di Sumatera Utara

Foto: Antara/Septianda Perdana
Praktik dinasti marak terjadi setelah adanya putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan menilai bahwa dinasti politik lebih sering terjadi di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khususnya, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015.

"Kalau kita lihat keadaan sekarang, saya memandang pertama karena ada putusan MK (yang membatalkan pasal dinasti politik), itu. Yang kedua adalah political will itu sendiri Itu tidak nampak," ujar Djohan dalam diskusi daring, Kamis (15/10).

Baca Juga

Ia melihat, ada kepentingan elite politik yang membuat dinasti politik dianggap wajar. Pasalnya, ada kecenderungan untuk menggunakan politik kekerabatan dalam menjalankan pemerintahan.

"Ada interest tertentu dalam aktor-aktor pemerintah kita. Kecenderungannya juga memakai politik kekerabatan dalam menjalankan langkah-langkah politiknya," ujar mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu.

Berbeda di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memandang ada potensi berbahaya dari praktik dinasti politik. Sehingga, hal tersebut tak marak terjadi saat itu.

"Bagi saya, dari segi rezim pemerintahan, memang rezim pemerintahan dulu itu tidak menyukai lah ya begitu tidak pro terhadap politik kekerabatan itu. Sehingga kemudian bisa dimunculkan pengaturannya," ujar Djohan.

Dalam riset terbaru Nagara Institute, ada 124 calon kepala daerah (cakada) dalam Pilkada 2020 yang terafiliasi dengan dinasti politik. Rinciannya, sebanyak 57 kandidat adalah calon bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota, delapan calon wakil wali kota, lima calon gubernur dan empat calon wakil gubernur.

Dari jumlah tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan gender, terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan. Adapun, 29 di antaranya adalah istri pejawat atau mantan kepala daerah.

Salah satunya adalah istri Abdullah Azwar Anas, Ipuk Fiestiandani, di Pilkada Banyuwangi 2020. "Dari 57 perempuan tersebut terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya," ujar peneliti Nagara Institute, Febriansyah Ramadhan.

Berdasarkan riset ini, Nagara Institute menemukan bahwa jumlah kandidat dinasti politik terus meningkat di setiap kontestasi. Terlebih setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menghalalkan dinasti politik.

Pada 2005-2014 terdapat 59 kandidat dinasti politik. Setelah putusan MK keluar di tahun 2015, angka dinasti politik pada Pilkada 2015, 2017, 2018 naik menjadi 86 orang kandidat.

photo
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler