Senin 19 Oct 2020 11:27 WIB

September, Defisit APBN Jadi Rp 682,1 T

Defisit APBN pada September setara 4,16 persen terhadap PDB.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir September mencatatkan defisit sebesar Rp 682,1 triliun atau setara dengan 4,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir September mencatatkan defisit sebesar Rp 682,1 triliun atau setara dengan 4,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir September mencatatkan defisit sebesar Rp 682,1 triliun atau setara dengan 4,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini mengalami pertumbuhan hingga 170 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, defisit yang dialami Indonesia masih on track dengan target defisit 6,34 persen terhadap PDB. Target ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN Tahun Anggaran 2020.

Baca Juga

Di sisi lain, realisasi defisit sampai dengan akhir bulan lalu masih lebih rendah di bawah negara setara Indonesia lain. "Di berbagai negara lain bahkan mencapai di atas belasan dan 20 persen. Kalau Indonesia defisit 4,16 persen dengan pertumbuhan ekonomi kontraksi 0,6 hingga 1,7 persen, kita harap Indonesia jauh lebih baik daripada peer-nya," ujar Sri dalam konferensi pers virtual, Senin (19/10).

Dalam postur APBN sampai akhir September, terlihat, pendapatan mengalami tekanan sesuai dengan yang diproyeksikan. Pendapatan negara tercatat mencapai Rp 1.159 triliun, tumbuh negatif 13,7 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kontraksi dalam terutama terlihat pada penerimaan pajak yang mengalami penyusutan 16,9 persen menjadi Rp 750,6 triliun.

Secara bruto, penerimaan pajak sebenarnya sudah menunjukkan tren perbaikan dengan kontraksi yang semakin landai. Pada Juli dan Agustus, kontraksinya mencapai masing-masing 26,2 persen dan 21,5 persen.

Dengan realisasi tersebut, Sri menyebutkan, tren pemulihan dari sisi penerimaan pajak sudah sesuai harapan yaitu menuju perbaikan ekonomi. Tapi, masih ada beberapa faktor yang menjadi perhatian, yakni kebijakan pembatasan sosial.

"Kita tentu waspada, tiap kali ada pengetatan PSBB, terlihat sekali di pajak langsung ada tekanan," katanya.

Di sisi lain, belanja negara mengalami kenaikan 15,5 persen menjadi Rp 1.841,1 triliun, atau 67,2 persen dari target di Perpres 72/2020. Pertumbuhan ini sejalan dengan akselerasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.211,4 triliun, tumbuh 21,2 persen dibandingkan tahun lalu.

Sri menuturkan, konsumsi pemerintah akan menjadi tumpuan untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020. Pada kuartal tiga saja, pemerintah memproyeksikan, belanja pemerintah pusat dapat tumbuh hingga dua digit. 

"Ini jadi kontributor kita untuk mengangkat kembali ekonomi untuk menuju ke nol atau bahkan di zona positif," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Secara keseluruhan, kondisi APBN sampai dengan akhir September menggambarkan, Covid-19 masih menjadi faktor utama yang menentukan PE global dan nasional. Selama belum tertangani, Sri menyimpulkan, pandemi selalu menjadi faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement