REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim menanggapi fenomena bunuh diri seorang siswi SMA berinisial MI di Gowa, Sulawesi Selatan, pada Sabtu pekan lalu. Ramli menilai, bunuh diri siswi tersebut diakibatkan banyaknya tugas daring dari sekolahnya.
"Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk," kata Ramli, dalam keterangannya, Senin (19/10).
Menurut dia, tekanan yang dialami MI salah satunya disebabkan pembelajaran jarak jauh yang tidak memiliki standar khusus dan cenderung sangat memberatkan siswa. Tugas dari guru telah mengakibatkan depresi terhadap siswa yang akhirnya dapat berujung pada kejadian bunuh diri.
Jumlah mata pelajaran yang sangat banyak ditambah dengan mudahnya guru memberikan tugas kepada siswa menjadi beban yang berat. "14-16 mata pelajaran tentu bukan sesuatu yang mudah, apalagi dengan dukungan jaringan internet yang tidak memadai," kata Ramli.
Selain itu, dia mengatakan, standar penugasan oleh guru tidak diatur, baik oleh pemerintah pusat ataupun daerah. Jika setiap guru memberikan tugas setiap pekan, maka setiap siswa bisa mendapatkan 14-16 tugas yang harus dituntaskan.
"Memang guru sangat mudah memberikan tugas, apalagi mereka saat ini dengan dukungan LMS tidak perlu tampil di depan kelas lagi. Cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut," kata Ramli menambahkan.
Lebih lanjut, ia menegaskan, kejadian bunuh diri siswi di Gowa ini seharusnya menjadi alarm yang keras kepada pemerintahan. Pengaturan tugas adalah sesuatu yang sangat serius dan bisa mengakibatkan tekanan kepada siswa.
Mestinya, kata Ramli, kepala sekolah dan guru konseling mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan. Menurutnya, setiap pemberian tugas juga harus mempertimbangkan kemampuan jaringan internet siswanya.