Selasa 20 Oct 2020 00:35 WIB

Studi: Orang Narsis Cenderung Lebih Tertarik Politik

Keterlibatan orang narsis di dalam politik dinilai dapat membahayakan demokrasi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
 Capres petahana Amerika Serikat ( AS) Donald Trump dan penantangnya Joe Biden memulai debat pertama pemilihan umum AS yang digelar di Case Western Reserve University, Cleveland, AS, Rabu (30/9) WIB. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada cukup banyak orang narsis yang tertarik pada politik.
Foto: AP/Morry Gash/AP Pool
Capres petahana Amerika Serikat ( AS) Donald Trump dan penantangnya Joe Biden memulai debat pertama pemilihan umum AS yang digelar di Case Western Reserve University, Cleveland, AS, Rabu (30/9) WIB. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada cukup banyak orang narsis yang tertarik pada politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru menunjukkan bahwa ada cukup banyak orang narsis yang tertarik pada politik. Keterlibatan orang narsis di dalam politik dinilai dapat membahayakan demokrasi.

"Fungsi demokrasi yang sukses membutuhkan kepercayaan pada institusi, efikasi, dan keterlibatan dalam proses demokrasi," jelas profesor di bidang ilmu politik dari Penn State University Peter Hatemi, seperti dilansir laman Health 24.

Baca Juga

Narsisme yang dibahas dalam studi ini digambarkan sebagai kombinasi antara keegoisan, perasaan berhak untuk mendapatkan yang lebih baik dari yang sudah dimiliki, dan kebutuhan untuk dikagumi. Hatemi menilai akan timbul ancaman bila ada lebih banyak orang narsis yang terlibat dalam proses demokrasi yang mendorong narsisme di muka publik.

"Menurut saya, masa depan demokrasi kita akan mendapatkan bahaya (bila hal itu terjadi)," kata Hatemi.

Dalam studi ini, tim peneliti melakuakn survei terhadap ribuan orang di Amerika Serikat (AS) dan Denmark. Tim peneliti mendapati bahwa narsisme berkaitan dengan partisipasi yang lebih tinggi di masa awal politik. Misalnya, menghubungi pembuat keputusan dan mempublikasikan pendapat mereka.

Sebagai tambahan, orang dengan tingkat narsisme yang lebih tinggi juga cenderung lebih vokal dalam bersuara. Hal ini membuat politisi cenderung lebih mendengar suara orang-orang dengan tingkat narsisme yang tinggi tersebut.

Selain itu, orang dengan tingkat narsisme yang lebih tinggi juga cenderung memberikan suara di pemilihan paruh waktu. Bila orang-orang yang lebih tertarik dengan kepentingan dan status mereka sendiri mengambil peran yang lebih besar dalam pemilu, menurut Hatemi, maka kandidat yang akan muncul kemungkinan akan merefleksikan keinginan mereka.

"Narsisme melahirkan narsisme," ujar Hatemi.

Gambaran umum yang terjadi saat ini pun dinilai tak jauh berbeda. Hatemi mengatakan saat ini orang-orang yang percaya diri dan percaya bahwa dirinya lebih baik dari orang lain cenderung lebih terlibat dalam proses politik. Sebaliknya, orang-orang yang lebih 'berdiri sendiri' cenderung lebih jarang terlibat dalam proses politik.

"Ini berarti bahwa hasil pemilu dan kebijakan-kebijakan bisa semakin diarahkan oleh mereka yang lebih banyak menginginkan, namun lebih sedikit memberi," pungkas Hatemi.

Untuk mencegah hal ini terjadi, Hatemi menilai, dibutuhkan masyarakat yang lebih beragam untuk terlibat di dalam politik. Namun hingga saat ini, Hatemi belum bisa mengetahui bagaimana cara untuk membuat hal itu terwujud. Studi terbaru ini telah dimuat secara daring dalam Personality and Social Psychology Bulletin.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement