REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Pertanian Bogor (IPB) University mengajak masyarakat di Indonesia agar melakukan 'revolusi meja makan' guna mengantisipasi kelangkaan pangan akibat pandemi Covid-19. "Strategi revolusi meja makan untuk menguatkan pangan lokal di lingkungan masyarakat," kata dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Fakultas Pertanian (Faperta) Prof Dr Edi Santosa melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (19/10),
Cara pertama adalah membangun memori individual dan memori kolektif. Memori individual dibangun dari kebiasaan makan sehari-hari, misalnya saat kecil dulu pernah makan nasi jagung, papeda, sup bubur garut dan lainnya. Sedangkan memori kolektif adalah kesadaran dan tanggung jawab yang dibangun di tengah masyarakat. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran tentang pangan lokal di institusi pendidikan atau institusi sosial.
Menurutnya, revolusi meja makan adalah diversifikasi pangan yang harus dimulai dari rumah tangga. Saat ini, keragaman menu makanan di Indonesia masih rendah meskipun bahan pangan beragam. Sebagai contoh, menu sarapan pagi orang Jepang jenisnya beragam dengan mengonsumsi 21 jenis makanan.
Kemudian 20 jenis saat makan siang dan 34 jenis menu pada makan malam. Sedangkan orang Indonesia rata-rata hanya mengonsumsi delapan jenis menu makanan pada saat sarapan, 15 jenis saat makan siang dan delapan jenis pada makan malam.
Meskipun saat ini ketersediaan pangan masih cukup untuk masyarakat, isu kelangkaan pangan harus disikapi dengan serius oleh berbagai pihak. Perlu adanya upaya strategis untuk menghindari kelangkaan bahan makanan selama masa pandemi. "Meskipun tidak banyak keluhan yang beredar di masyarakat, kebutuhan pangan selama masa pandemi harus dipersiapkan dengan baik," katanya.
Ia mengatakan fenomena yang muncul saat ini adalah masyarakat secara sadar melakukan diversifikasi pangan selama masa isolasi wilayah. Secara alamiah masyarakat melakukan diversifikasi beras dengan menggunakan pangan lokal yang tersedia di wilayahnya masing-masing.
Menurutnya, hal ini menunjukkan pentingnya peran pangan lokal untuk ketahanan pangan selama masa pandemi Covid-19. Pangan lokal tersedia dalam jumlah banyak dan jenisnya juga beragam di tiap wilayah.
Selain itu, pengetahuan lokal tentang pangan sudah ada di masyarakat Indonesia. Pengetahuan ini harus ditransformasikan ke dalam kearifan lokal di masyarakat. Sehingga, masyarakat terbiasa untuk mengonsumsi pangan lokal wilayahnya. "Contoh, masyarakat Jepang rutin membuat perayaan dengan mengonsumsi pangan lokal yang ada di wilayahnya," ujar dia.
Mereka, katanya, bisa mengonsumsi ubi jalar atau gandum yang dijadikan ketan. Masyarakat secara beramai-ramai memukulkan alunya untuk membuat makanan lokal dalam sebuah upacara perayaan. Hal tersebut contoh transformasi kearifan lokal dijadikan sebagai pangan lokal. "Saat pasar stabil, para petani akan menanam bahan pangan lokal hingga meningkatkan perekonomian mereka," kata Prof Edi.