REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nya’ Zata Amani, mengingatkan bahwa pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak seharusnya berorientasi pada target ketuntasan kurikulum. Penerapan PJJ harus melihat peserta didik sebagai seorang anak.
"Kalau masih orientasi pencapaian nilai, bukan pemahaman, bagaimana (siswa bisa) nilainya bagus. Perlu diperbaiki, perspektifnya siswa. Kita melihat pemahaman siswa bukan dari nilainya, tapi prosesnya, pembelajarannya,” kata Zata dalam webinar GREDU “Posisi Kejujuran saat PJJ, Waktunya Perbaikan Sistem Belajar?”, disimak di Jakarta, Rabu (21/10).
Zata menyarankan para guru untuk mengubah paradigmanya itu dengan harapan mendorong kejujuran siswa, sembari melihat pemahaman anak didiknya. Menurut dia, pemberian tugas itu bukan hanya untuk evaluasi, tapi juga memiliki fungsi pengukuran. Artinya, harus ada umpan balik kepada siswa, seperti di mana salahnya, apa kurangnya, dan lain-lain.
"Jangan sampai memberikan tugas yang memberatkan anak di masa PJJ ini," ujar dia.
Zata mengatakan, salah satu bentuk kecurangan mudah dilihat dalam dunia pendidikan adalah saat ujian nasional (UN). Saat itu, monumen tertinggi kecurangan ada di UN.
"Itu jauh dari prinsip dasar di UN,” kata dia.
Zata mengatakan guru bisa belajar dari UN. Artinya, jika masih menjadikan ujian sebagai segalanya, maka siswa juga melakukan segala cara, termasuk curang untuk berhasil dalam penilaian.