Kamis 22 Oct 2020 13:18 WIB

UU Cipta Kerja, Standar Upah dan Nasib Pelaut Dalam Negeri

Mengapa pelaut perlu upah tersendiri atau sektoral? Sebab profesi ini tergolong unik.

Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute.
Foto: dokpri
Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Siswanto Rusdi (Direktur The National Maritime Institute)

Di tengah segala kontroversi dan penolakan dari berbagi komponen masyarakat sejak digagas oleh pemerintah, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang oleh Parlemen. Setelah Senayan menyetujuinya ternyata kontroversi dan penolakan yang sudah berakar tadi malah makin menjadi-jadi.

Salah satu isu yang memantik emosi jiwa publik sehingga mereka turun ke jalan memprotes aturan tersebut adalah seputar ketenagakerjaan/perburuhan. Tulisan ini ingin fokus pada kaitan UU Cipta Kerja dengan upah pelaut.

Sesuai dengan namanya, UU Cipta Kerja memang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja. Dengan pengesahan aturan ini lapangan kerja yang ingin diciptakan itu memang tidak akan serta-merta muncul. UU Cipta Kerja hanya mempersiapkan prakondisinya. Tercipta atau tidaknya lapangan kerja amat ditentukan oleh investasi yang dilakukan oleh para pengusaha, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Demi tujuan ini, regulasi – terutama yang berbentuk UU – yang dapat mempersulit gerak investor menamkan modalnya ‘ditertibkan’ agar sesuai dengan target besar penciptaan lapangan kerja.

Memahami pengaturan isu ketenagakerjaan dalam UU Cipta Karya, hal yang paling membentot perhatian adalah soal upah. Pihak pekerja menilai aturan sapu jagat itu banyak mentorpedo ketentuan pengupahan yang diatur oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan. Akibatnya, nasib buruh yang selama ini lumayan baik dengan aturan lama tersebut diperkirakan akan memburuk seiring dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja. Pertanyaannya, bagaimana kondisi pengupahan pelaut dalam UU Cipta Kerja?

Tidak berlebihan rasanya bila disebut pelaut tidak memiliki tempat dalam UU Cipta Kerja. Sama seperti perlakuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. Secara umum employment pelaut di Indonesia dituangkan ke dalam Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab 4. Di samping itu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), terutama Bagian Kedua, Ketiga, Keempat dan Kelima, Bab Ketujuh A, Buku Ketiga. Aturan KUHPer ini mengatur tentang Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan. Perjanjian ini ditandatangani dihadapan syahbandar di mana calon pelaut akan naik kapal (sign on).

Selain aturan peninggalan Belanda di atas, penempatan pelaut dalam negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 200 Tentang Kepelautan. Aturan ini juga sama tuanya. PP ini dibuat sebagai pelaksanaan berbagai amanat yang berhubungan dengan kepelautan yang ada dalam UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Masalahnya, undang-undang ini sudah diganti dengan yang baru, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008. 

PKL yang ada menempatkan pelaut sebagai pekerja kontrak. Dalam pola hubungan ini pelaut sangat lemah posisinya dan akhirnya diperlakukan semena-mena. Perlakuan semena-mena itu terlihat, misalnya, dalam kebijakan pengupahan. Sering sekali pelaut menerima upah di bawah nilai yang tertera dalam PKL.

Menariknya, upah yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Laut itu jauh di bawah standar upah minimum yang berlaku di provinsi/wilayah di mana kesepakatan antara awak kapal dan pemilik kapal dibuat. Pelaut juga tidak diikutsertakan ke dalam program jaminan sosial yang berlaku.

Padahal, pelaut dikategorikan sebagai pekerja tetap, bukan pekerja musiman. Sehingga, tidak tepat bila terhadap mereka diberlakukan hubungan kerja waktu tertentu atau PKWT/kontrak. Dalam praktiknya, PKL yang menjadi ‘hitam di atas putih’ itu tidak semuanya diserahkan naskahnya kepada pelaut oleh pemilik kapal yang mempekerjakan mereka. Sehingga para pelaut tidak tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Cilakanya, PKL yang ada tidak memuat kejelasan status hubungan kerja pelaut dengan pemberi kerja/pelayaran. Syahbandar diam saja melihat praktik eksploitatif ini.

Sementara itu, ada begitu banyak perubahan dalam pengaturan employment pelaut, salah satunya, pemberlakuan Maritime Labor Convention 2006 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, tetap saja yang dijadikan acuan PP Nomor 7/2000. Jelas tidak nyambung. 

Mengapa pelaut perlu upah tersendiri atau sektoral? Karena profesi ini tergolong unik, berbeda dari profesi lainnya. Contoh sederhana. Bila pekerja pada sektor lain pabrik/kantor/tempat bekerja terpisah, tidak begitu halnya dengan pelaut. Dengan terpisahnya tempat kerja dan tempat istirahat, pekerja non-pelaut dapat beristirahat dengan sempurna. Sehingga, tubuh mereka bugar. Selanjutnya, tempat kerja mereka relatif lebih terbuka dengan sirkulasi udara yang lebih alami. Di sisi lain, pelaut bekerja dan beristirahat di tempat yang sama, ruang kerjanya pun sebagian besar ditutupi dengan pelat-pelat baja. Akhirnya tak terhindari sirkulasi udara diatur oleh berbagai exhaust fan dan AC; udara tak lagi alami.

Tak hanya itu. Pelaut juga menghadapi lingkungan alam yang selalu berubah. Kadang dihadang badai, terkatung-katung di lautan karena kerusakan mesin kapal. Tak jarang pula disatroni perompak. Last but not least, menjadi pelaut membutuhkan pendidikan khusus dengan sekoper sertifikat seperti yang diatur oleh International Maritime Organization (IMO), organisasi di bawah naungan PBB yang mengurusi kemaritiman dunia. Apa mau dikata, dengan semua kondisi tempat bekerja dan kualifikasi yang dipersyaratkan, gaji/upah pelaut dalam negeri masih menyedihkan.

Merebaknya virus corona membuat kondisi pelaut domestik makin nelangsa. Tidak ada langkah khusus yang disiapkan untuk mereka agar kuat menghadapi situasi pandemi. Di sisi lain, mereka harus tetap bekerja mengirim barang ke seluruh pelosok negeri. Kini, kondisi yang tidak menguntungkan itu diperparah dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja (oleh pelaut sering diplesetkan menjadi UU Cilaka [Cipta Lapangan Kerja]). Aturan ini ternyata tidak menertibkan aturan-aturan baheula tersebut sehingga harapan pelaut lokal akan standar upah yang layak makin ‘ke laut aja’.

UU Cipta Kerja membentangkan karpet merah kepada investor atau pengusaha, termasuk pengusaha pelayaran. Diharapkan bisnis pelayaran dalam negeri akan semakin berkembang seperti yang dinarasikan oleh pengusaha pelayaran nasional. Harapan yang sah-sah saja. Namun, jangan sampai perkembangan usaha pelayaran domestik dibangun di atas derita pelaut. Jangan sampai mereka mogok demi memperjuangkan nasibnya. Bisa kacau-balau dunia persilatan di dalam negeri dibuatnya. Barang-barang akan teronggok di pelabuhan tak terangkut. Semoga tidak terjadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement