REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas Ariani Soekanwo menyampaikan sejumlah masukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020 dengan protokol kesehatan yang ramah penyintas disabilitas. Menurutnya, ada sejumlah hal yang perlu dibenahi saat simulasi pencoblosan yang digelar KPU di beberapa daerah.
"Kami dari Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas, memang sudah mengikuti beberapa kali simulasi yang diadakan oleh KPU. Kemudian di situ kita juga menemukan beberapa hal yang kurang," ujar Ariani dalam diskusi daring, Kamis (22/10).
Masukan pertama terkait akses penyintas disabilitas selama berada di tempat pemungutan suara (TPS) yang seharusnya memudahkan pengguna kursi roda. Permukaan lapangan permukaan rata, tidak berumput tebal, tidak berbatu-batu, dan landai.
Jika memungkinkan, TPS dibangun di lapangan tenis atau lapangan badminton. Menurut Ariani, beberapa kali simulasi pemungutan suara digelar di lapangan dengan rumput tebal.
Lapangan berumput itu cukup menyulitkan pengguna kursi roda. Apalagi jika musim hujan, lapangan menjadi becek menambah kesulitan penyintas disabilitas mengendarai kursi rodanya.
"Ini pasti mereka membutuhkan, kita meminta beberapa kali simulasi, teman-teman kursi roda itu meminta didorong karena mereka tidak mampu menjalankan kursi rodanya sendiri," kata Ariani.
Pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 membuat KPI menerapkan penyesuaian protokol kesehatan. Salah satunya, pemilih menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai yang disediakan KPU. Penggunaan sarung tangan itu, kata Ariani, menyulitkan mereka mengayuh kursi roda.
Kemudian, masukan kedua terkait akses komunikasi bagi disabilitas tuli. Penyintas tuli menggunakan cara komunikasi dengan bahasa isyarat atau tulisan. Sedangkan, setiap orang wajib menggunakan masker selama berada di TPS yang menyulitkan kelompok tuli membaca gerakan bibir.
Karena itu, KPU dapat menyediakan alat tulis atau mereka diperbolehkan membawa telepon genggam untuk komunikasi dengan petugas di TPS. Meskipun nanti mereka tidak diperbolehkan membawa handphone saat di bilik suara.
Masukan ketiga terkait kemudahan disabilitas netra membaca surat suara dengan braille. Penggunaan sarung tangan plastik sekali pakai menyulitkan teman-teman netra membaca braille.
"Karena jari-jarinya tidak akan sensitif gitu kalau harus membaca, alat bantu coblos itu. Juga memasukkan surat suara ke dalam template, itu kalau dengan sarung tangan sangat sulit," tutur Ariani.
Ia meminta disabilitas netra atau disabilitas intelektual diperkenankan pergi ke TPS hingga bilik suara didampingi keluarga. Sebab, jika pendamping bukan anggota keluarga sendiri, ada kekhawatiran terhadap potensi penularan Covid-19 karena terjadi interaksi fisik, padahal terdapat ketentuan menjaga jarak dan tidak bersentuhan antarorang.
Ariani pun meminta petugas benar-benar dilengkapi dengan alat pelindung diri, mulai dari masker, pelindung wajah, sampai mengenakan baju lengan panjang. Dengan demikian, saat berkomunikasi dengan disabilitas yang harus secara berdekatan, pencegahan penularan Covid-19 dapat dimaksimalkan.
"Kemudian yang lainnya juga, bahwa saat ini kan sudah ada mulai dikampanyekan melalui televisi, bagaimana cara mencoblosnya, itu juga mohon juga diterangkan juga, diinformasikan juga bagaimana disabilitas itu nantinya di TPS.