Warta Ekonomi.co.id, Jakarta
Survei Hurun melaporkan bahwa daratan China telah menambahkan 257 miliarder baru dan bersaing dalam dolar AS pada Agustus 2020. Secara keseluruhan, China memiliki 878 miliarder, jumlah tertinggi yang pernah ada. Sementara AS memiliki 700 miliarder. Padahal, pada tahun 1999 tak ada satupun miliarder di China.
Dilansir dari Quartz di Jakarta, Kamis (22/10/2020) hari ini, China memiliki 2.398 individu dengan kekayaan bersih lebih dari 2 miliar yuan atau Rp4,2 triliun, yang merupakan batas dari daftar tersebut. Total kekayaan gabungan mereka mencapai USD4 triliun (Rp58.836 triliun), mirip dengan PDB Jerman.
Baca Juga: Mental Baja China Diuji, Satu Negara Eropa Kirim Gertakan ke Armada Xi Jinping
China pertama kali melampaui AS dalam jumlah miliarder pada 2015 dan sekarang memiliki lebih banyak dari mereka daripada negara mana pun di dunia.
Sebagian besar penciptaan kekayaan masih berada di sektor teknologi. Posisi pertama di tempati Jack Ma, mantan pendiri dan CEO Alibaba, mempertahankan posisi teratasnya dalam daftar selama tiga tahun berturut-turut dengan kekayaan bersih hampir USD60 miliar (Rp882 triliun).
Sementara para kritikus bertanya-tanya apakah wabah Covid-19 akan menjadi "momen Chernobyl" di China? Pasalnya, Beijing sejak itu kembali ke posisi yang relatif kokoh berkat tindakan kejamnya dalam mengendalikan pandemi.
China telah melaporkan pertumbuhan PDB 4,9% untuk kuartal ketiga kemarin berkat pemulihan dalam produksi industri dan penjualan ritel, dibandingkan dengan penurunan 6,8% dan ekspansi 3,2% di kuartal pertama dan kedua, masing-masing.
Salah satu pendorong penting pemulihan datang dari peningkatan kepercayaan konsumen, dengan warga sekarang siap untuk berbelanja dan bepergian lagi. Rebound dalam kepercayaan mungkin diilustrasikan dengan baik oleh ledakan perjalanan balas dendam selama liburan delapan hari di China pada awal Oktober ketika total 637 juta perjalanan dilakukan di dalam negeri.
Meski demikian, ada dugaan kesenjangan kekayaan China melebar selama pandemi, dengan yang kaya bangkit kembali dengan cepat sementara penduduk yang lebih miskin terus menderita karena kurangnya dukungan keuangan. Tetapi, hal itu masih belum dapat dipastikan.