Sabtu 24 Oct 2020 06:32 WIB

Tingkat Kepercayaan terhadap Vaksin Jadi Kekhawatiran Baru

Keraguan terhadap vaksin sangat terkait dengan kurangnya kepercayaan pada pemerintah.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Reiny Dwinanda
Kandidat vaksin Covid-19 (ilustrasi). Ilmuwan membunyikan alarm kepada pemerintah untuk mengatasi keraguan masyarakat terhadap program vaksinasi yang akan datang.
Foto: AP Photo/Ted S. Warren
Kandidat vaksin Covid-19 (ilustrasi). Ilmuwan membunyikan alarm kepada pemerintah untuk mengatasi keraguan masyarakat terhadap program vaksinasi yang akan datang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah perjuangan ilmuwan untuk menghasilkan vaksin Covid-19, gelagat penolakan terhadap vaksinasi muncul pada kelompok masyarakat di berbagai negara. Mengingat jumlah mereka cukup besar, ilmuwan mengingatkan pemerintah untuk tidak menyepelekan hal tersebut.

Para ilmuwan menyerukan pemerintah segera bertindak untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada imunisasi Covid-19. Apalagi, perawatan yang efektif cuma sedikit dan tidak ada obat untuk melawan virus corona.

Baca Juga

Kondisi itulah yang membuat perusahaan dan pemerintah berlomba untuk mengembangkan vaksin dalam upaya untuk menghentikan pandemi. Ilmuwan mencermati, keraguan terhadap vaksin meningkat akibat informasi yang salah dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan di Nature Medicine, para peneliti di Spanyol, Amerika Serikat, dan Inggris mensurvei 13.400 orang di 19 negara yang terpukul oleh Covid-19. Mereka menemukan bahwa 72 persen dari mereka akan diimunisasi, 14 persen akan menolak dan 14 persen ragu-ragu.

Ketika ditelisik kemungkinan penolakan vaksinasi pada seluruh populasi, jumlahnya bisa mencapai puluhan juta orang. Ilmuwan mengatakan, temuan ini harus menjadi seruan untuk bertindak bagi komunitas kesehatan internasional.

"Jika kami tidak mulai membangun literasi vaksin dan memulihkan kepercayaan publik pada sains saat ini, kami tidak dapat berharap untuk menahan pandemi ini," kata rekan penulis Heidi Larson, yang menjalankan Proyek Kepercayaan Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine dilansir laman Health 24, Jumat (23/10).

Para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang paling tidak percaya pada pemerintah cenderung tidak menerima vaksin. Bahkan, mereka yang pernah kena Covid-19 cenderung tidak merespons secara positif.

Sementara itu, di China, 87 persen responden mengatakan mereka akan menggunakan vaksin yang "terjamin, aman, dan efektif". Jumlah respondennya tertinggi dari semua negara yang disurvei.

Sementara itu, proporsinya turun menjadi 75 persen di AS. Di Rusia, angkanya serendah 55 persen.

"Kami menemukan bahwa masalah keraguan terhadap vaksin sangat terkait dengan kurangnya kepercayaan pada pemerintah," kata koordinator studi Jeffrey Lazarus, dari Barcelona Institute for Global Health.

Kalangan dewasa tua

Ketika ditanya apakah masyarakat akan menerima vaksin yang disetujui dan aman yang direkomendasikan "oleh pemberi kerja", hanya 32 persen responden yang sepenuhnya setuju. Tingkat penerimaan sangat bervariasi di setiap negara.

China sekali lagi memiliki tanggapan positif yang paling jelas. Sebanyak 84 persen menyetujui penuh atau agak setuju. Di Rusia, angkanya cuma 27 persen.

Studi tersebut dirilis dalam Union World Conference on Lung Health. Mereka menemukan penerimaan yang lebih besar terhadap vaksin di antara orang-orang yang berpenghasilan lebih dari 32 dolar AS (sekitar Rp 467 ribu) per hari.

Mereka juga menemukan orang tua lebih mungkin menerima vaksin daripada mereka yang berusia di bawah 22 tahun. Dalam inisiatif baru yang didukung oleh AS dan Vaccine Alliance Gavi, para ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan vaksin akan muncul dalam serangkaian video di media sosial untuk membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengembangan vaksin.

Para peneliti dan dokter di Inggris, AS, Afrika Selatan, India, dan Brasil akan mengunggah video edukasi dengan tagar #TeamHalo, referensi ke lingkaran upaya ilmiah global di TikTok, Twitter, dan Instagram.

"Saya terbiasa menghabiskan waktu memipet sampel dan menganalisis data. TikTok adalah hal baru bagi saya, tetapi saya antusias untuk mengungkap karya kami dan membuatnya dapat diakses oleh dunia," kata Anna Blakney, seorang ahli biologi yang berpartisipasi dan merupakan bagian dari tim pengembangan vaksin di Imperial College di London.

Awal bulan ini, sebuah studi di jurnal Royal Society Open Science menemukan bahwa sepertiga orang di beberapa negara mungkin percaya informasi yang salah tentang virus corona dan pada gilirannya kurang terbuka untuk imunisasi. Penelitian terbaru dari Cornell University menemukan bahwa Presiden AS Donald Trump adalah pendorong kesalahan informasi Covid-19 terbesar di dunia karena promosinya tentang apa yang oleh para peneliti disebut "obat ajaib".

Sementara itu, kecepatan perkembangan vaksin telah menimbulkan kekhawatiran di beberapa negara. Apalagi, Rusia pada bulan Agustus mengeklaim bahwa mereka akan mulai meluncurkan vaksin Sputnik V sebelum uji coba fase 3.

Klaim tersebut paling banyak mendapat kritik. Sebab, karena terlalu prematur untuk menyebut vaksin sudah tersedia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement