REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, investasi di sektor pertanian Indonesia masih perlu ditingkatkan. Salah satu tujuannya demi mencapai ketahanan pangan.
Dibutuhkan solusi yang komprehensif untuk memastikan terpenuhinya empat pilar ketahanan dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses atau keterjangkauan (baik secara fisik dan ekonomi), utilisasi atau keragaman (gizi, nutrisi dan keragaman) dan stabilitas atau keberlangsungan.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan adalah dengan mendorong masuknya investasi di sektor pertanian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah total investasi pertanian di 2018 adalah Rp 54,1 triliun. Sementara itu, jumlah ini bertambah menjadi Rp 57 triliun di tahun berikutnya. Sementara itu, investasi asing di sektor pertanian sebesar 3 persen dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia. Total investasi yang masuk pada 2019 adalah sebesar 27,095 miliar dolar AS.
“Padahal masuknya investasi dapat membantu membentuk sektor pertanian yang resilien dan berkelanjutan melalui pendanaan riset dan pengembangan, teknologi, maupun pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat dan petani,” jelas Felippa.
Felippa menambahkan, pemerintah perlu terbuka terhadap investasi, baik yang berasal dari domestik dan asing. Namiun masuknya investasi tersebut tetap perlu mementingkan efisiensi biaya. Selama ini, selain nilai investasi di sektor pertanian yang masih cenderung rendah, alokasi pada komponen investasi di bidang research dan development juga masih jauh dari nilai yang memadai.
Menurutnya, pengembangan pada bidang riset dan pengembangan (R&D) sangat penting untuk, misalnya, mengembangkan bibit dan benih yang lebih tahan lama dan berkualitas lebih baik.
Investasi dan kebijakan pertanian yang diambil tersebut diharapkan bisa mengadopsi cara-cara bertani yang lebih ramah terhadap iklim. Krisis iklim kini sudah menjadi tantangan dalam sektor pertanian sehingga sektor pertanian sudah sangat perlu untuk mengadopsi cara-cara bertani yang ramah lingkungan.
Selain itu, menurutnya, pemerintah juga perlu memperhatikan bahwa kebijakan pangan berjalan dari mulai hulu ke hilir (on farm dan off farm), sehingga investasi juga perlu masuk ke infrastruktur, cold chain, rantai pasok, rantai distribusi hingga pasar, dapat dilakukan dengan menggandeng pihak swasta.
Presiden Tani Hub Group, Pamitra Wineka menyatakan, sebagai salah satu aktor penting dalam sektor pertanian Indonesia, petani menghadapi beberapa masalah dalam distribusi seperti rantai pasok yang panjang dan ongkos produksi yang panjang serta produktivitas petani yang rendah. Dalam menanggapi semua masalah ini, teknologi berperan penting untuk menjembatani masalah ini terhadap sebuah solusi.
“Beberapa startup di bidang teknologi seperti Tani Hub ingin membangun platform yang menghubungkan petani dan pembeli sehingga petani yang dulunya hanya mengandalkan tengkulak menjadi lebih banyak pilihan, dan pada akhirnya distribusi pangan jadi lebih sedikit rantainya.” ujar Eka.
Terkait ongkos produksi yang tinggi, temuan di lapangan yang diamati Tani Hub juga menyatakan bahwa para petani masih kesulitan untuk mencari bibit dan pupuk sehingga terpaksa beli lebih mahal di toko retail atau tengkulak ketimbang distributor.
Selain itu, lahan di Indonesia masih rendah produktivitasnya. Untuk melakukan peningkatan produktivitas lahan, para petani perlu diberikan wawasan dan akses modal yang cukup. "Di sini peran startup penting untuk menjembatani kebutuhan-kebutuhan ini," ujarnya.