REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany
Penghujung Oktober 2020 ini menjadi momen istimewa karena bertepatan dengan dua hari bersejarah bagi kita semua. Hari ini 92 tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda II yang menjadi pemicu lahirnya Sumpah Pemuda. Momentum Sumpah Pemuda menjadi salah satu titik balik perjalanan bangsa Indonesia menuju Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Ada alasan logis dan mendasar mengapa akhirnya Hari Sumpah Pemuda ini diinisiasi oleh Moh Yamin sebagai ketua pergerakan pemuda kala itu, sebab saat itu Indonesia masih terpecah-belah hingga para pemuda belum memahami siapa musuh mereka dan bersatu untuk melawannya. Persatuan itu kemudian ditandai dengan momen Sumpah Pemuda.
Terpecah belahnya kaum pemuda kala itu juga tak terlepas dari sifat-sifat manusiawi kaum pemuda yang biasanya memiliki semangat menggebu, tubuh yang masih kuat, usia yang masih produktif, juga jiwa yang masih cenderung bersaing, hingga tak jarang, satu dan lainnya mengunggulkan ide masing-masing. Namun, tak dipungkiri, keberhasilan lahirnya Sumpah Pemuda hingga hari kemerdekaan Indonesia, sangat dipengaruhi oleh ide-ide cemerlang golongan pemuda ini.
Jika kita mengkaji dengan runut dan mendetail, maka ada kesamaan antara perjuangan rakyat Indonesia yang juga digaungi oleh kalangan pemuda dengan semangat Rasulullah bersama para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam yang tak sedikit didukung penuh oleh sahabat-sahabat yang masih sangat muda. Sebut saja Ali bin Abi Thalib, sahabat karib sekaligus menantu beliau yang masuk Islam saat usia yang masih sangat belia hingga Ali memeroleh banyak kesempatan untuk belajar langsung dari sumbernya. “Ana madinatul ‘ilm wa ‘Ali baabuha— Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya,” demikian penuturan Rasulullah Saw. Selain Ali, masih banyak sahabat-sahabat Rasul yang mengikrarkan diri untuk ikhlas memeluk Islam dan ikut berperang.
Jika para sahabat Rasulullah yang juga banyak diisi oleh saat muda untuk menegakkan ajaran Islam, masa kecil Rasulullah hingga remaja pun tak lepas dari perjuangan. Rasulullah telah kehilangan kedua orangtuanya sejak kecil. Ayah Abdullah wafat saat Rasul masih dalam kandungan Ibunda Aminah. Sejak wafat keduanya, Rasulullah pun berada dalam pengasuhan sang Kakek, Abdul Muthallib (Syaibah bin Hasyim).
Selepas sang kakek wafat, pengasuhan diserahkan pada paman beliau, Abu Thalib. Kehilangan orangtua hingga bergantinya tugas pengasuhan ini membuat Rasulullah secara manusiawi menghadapi goncangan jiwa. Kendati demikian, apa yang menimpa Rasulullah tak lepas dari rencana Allah. Allah menghendaki Rasul untuk kehilangan sosok penting dalam hidupnya, sebab Allah ingin mendidik langsung jiwa Rasulullah dengan didikan dan penjagaan yang Maha Sempurna sebagai persiapan kenabian, demikian menurut Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya.
Lalu, bagaimana masa remaja Rasul? Apakah beliau pernah jatuh cinta sebelum akhirnya menikah dengan Sayyidah Khadijah ra?
Dalam buku Muhammad Sang Teladan karya Muhammad Asy Syarqawi, tertulis, Rasulullah Saw pernah tertarik pada seorang perempuan cantik saat keduanya sama-sama sedang thawaf. Ia bernama Dhuba'ah binti Amir bin Qurth yang berasal dari Bani Amir bin Sha'sha'ah. Dhaba’ah telah memeluk agama Islam di Makkah, mendahului orang-orang di kaumnya, sehingga ia termasuk dalam kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (as-sabiqunal awwalun), tetapi ia masih menyembunyikan keislamannya pada masa itu. Namun demikian, Allah menjaga Rasul-Nya sehingga tidak melakukan hal-hal di luar batas syariat. Meski hati beliau jatuh hati, Rasul tetap menjaga diri dan mengurungkan niatnya untuk meminang Dhaba’ah.
Melalui peristiwa ini, kita belajar dari akhlak Rasulullah bahwa seorang pemuda kendati masih dalam masa transisi dengan rasa ingin tahu yang tinggi, tetap harus menjadikan Allah sebagai pegangan hati. Pemuda terbaik bukan hanya pemuda yang kuat fisiknya namun juga mereka yang memiliki kuat hati dan spiritualnya untuk taat beribadah pada Allah. Sebab pemuda, dalam sebuah hadits shahih, adalah satu dari tujuh golongan yang dijanjikan akan memeroleh naungan Allah di hari kiamat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
Pertama, imam yang adil. Kedua, seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh. Ketiga, seseorang yang hatinya bergantung pada masjid. Keempat, dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. Kelima, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allâh.’ Keenam, seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya. Ketujuh, seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari, no. 1423 dan Muslim, no. 1031).
Selain belajar menata fisik- spiritual di masa remaja, masa muda Rasulullah pun diisi dengan perjuangan dalam menegakkan agama Islam. Rasulullah menginisiasi lahirnya persaudaraan kedua golongan umat Islam; Muhajirin dan Anshar. Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik, dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.
Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Saw mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.
Semangat mempersaudarakan inilah hendaknya menjadi contoh nyata yang bisa kita lakukan di masa kini. Saling memberi pertolongan, dukungan, hindari hate speech di berbagai media, mewaspadai dosa-dosa jariyah dari jemari termasuk menghindari diri dari upaya provokasi. Dengan demikian, nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda tetap bisa kita manifestasikan di masa pandemi ini. Meski tanpa perayaan yang meriah, semangat juang persatuan dan kesatuan harus terus terpatri; seperti upaya Rasulullah Saw yang telah mempersaudarakan dua kaum yang sangat berbeda latar belakang geografis, keturunan, asal daerah, bahasa, kebiasaan, hingga profesi. Mereka bisa disatukan dalam semangat persaudaraan. Begitu pun Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, suku, ras, bahasa, budaya pasti lebih kuat dengan semangat persatuan. Semoga, sumpah pemuda yang di masa pandemi ini bertepatan dengan momen hari lahirnya al-Musthafa, membuat bangsa Indonesia lebih kuat, sehat, damai dan selalu sejahtera. aamiiin