REPUBLIKA.CO.ID, Melahirkan menjadi pengalaman yang ajaib dan mengagumkan bagi seorang perempuan. Namun, tak sedikit di antaranya yang kemudian harus menghadapi baby blues atau kondisi berupa gangguan suasana hari yang dialami setelah persalinan dan jika tidak ditangani dengan tepat bisa berdampak depresi, hingga hal-hal negatif lainnya untuk ibu maupun bayi.
Sebuah studi terbaru menunjukkan baby blues bisa bertahan lebih lama daripada yang diperkirakan oleh para ahli kesehatan sebelumnya, Para peneliti dari National Institutes of Health mengatakan wanita mungkin terus mengalami tingkat depresi yang tinggi selama bertahun-tahun setelah anak mereka lahir.
Dilansir Study Finds, studi yang dilakukan terhadap 5.000 perempuan mengungkapkan satu dari empat mengalami gejala depresi berat di beberapa titik selama periode tiga tahun setelah melahirkan. Perempuan lain yang diperiksa juga melaporkan tingkat depresi yang rendah selama tiga tahun yang sama.
Ibu dengan depresi pascapersalinan biasanya mengalami perubahan suasana hati, kecemasan, bahkan hingga memiliki pikiran untuk bunuh diri. Kasus baby blues tang serius ini biasanya dimulai pada minggu pertama setelah seorang perempuan melahirkan.
Hingga saat ini, kebanyakan kasus diperkirakan hanya berlangsung beberapa pekan. American Academy of Pediatrics mendesak dokter anak untuk memeriksa ibu baru yang mengalami depresi postpartum selama bulan pertama, kedua, keempat, dan keenam setelah melahirkan. Sementara itu, tim dari NIH's Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) merekomendasikan tes ini untuk diperpanjang.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa enam bulan mungkin tidak cukup lama untuk mengukur gejala depresi," ujar penulis utama studi Diane Putnick.
Putnick mengatakan jangka panjang ini adalah kunci untuk meningkatkan pemahaman kami tentang kesehatan mental ibu, yang kami tahu sangat penting untuk kesejahteraan dan perkembangan anaknya. Penulis studi menggunakan data dari studi KIDS Upstate untuk membuat kesimpulan.
Laporan itu mencakup ibu dan bayi yang lahir antara 2008 dan 2010 di puluhan wilayah di sekitar New York, Amerika Serikat (AS). Peneliti menganalisis kondisi mental setiap perempuan selama tiga tahun setelah kelahiran anak mereka.
Setiap ibu mengambil kuesioner skrining untuk mengukur risiko mereka terhadap depresi pascapartum. Satu hal yang tidak dilakukan dalam penelitian ini adalah mendiagnosis depresi secara klinis pada salah satu peserta.
Para peneliti menemukan ibu dengan masalah kesehatan yang mendasarinya, seperti gangguan perasaan (mood) atau diabetes, ternyata memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami gejala depresi. Studi juga diterbitkan di jurnal Pediatrics.