REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Hadi Saputra
Pembaca yang kreatif, 'suten/bersuten' menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara mengundi dengan mengadu jari untuk menentukan siapa yang menang bermain dahulu. Kata 'suten' bisa juga dimaknai 'suit', 'suwit', atau 'sut', yang menurut Wikipedia adalah cara mengundi untuk dua orang dengan cara mengadu jari untuk menentukan siapa yang menang.
Peraturan permainannya adalah ibu jari yang diumpamakan sebagai gajah. Jari telunjuk yang diumpamakan sebagai manusia, dan jari kelingking yang diumpamakan sebagai semut. Dua orang yang melakukan suit secara serentak mengacungkan jari yang dipilihnya.
Dalam suit, jari yang menjadi pemenang adalah ibu jari dengan telunjuk, pemenang adalah ibu jari. Telunjuk lawan kelingking, pemenang adalah telunjuk. Kelingking ketemu ibu jari, pemenangnya adalah kelingking.
Pada Kamis (22/10) lalu, saya mengisi peningkatan kompetensi, penguatan, komunikasi profesional di Unit Inspektorat Kemenpora RI di Yogyakarta. Pada saat pertengahan, materi saya menyisipkan ice breaking, yakni bagaimana cara menyamakan persepsi dalam berkomunikasi.
Para peserta saya minta mencari teman (berdua) untuk suit dengan tetap menjaga jarak (physical distancing). Ketika suit dilakukan, ada peserta yang begitu menikmati dan ada yang masih malu-malu.
Suit pertama dimainkan dan saya bertanya siapa yang menang. Ketika suit kedua dimainkan saya juga bertanya siapa yang menang. Sebagian tentu angkat tangan.
Di luar dugaan saya dan peserta lainnya, Pak Pangestu Adi, seorang Auditor Madya yang pada saat itu juga merangkap sebagai moderator, angkat bicara. "Saya bisa suit dengan ibu-ibu dan saya yakin pasti menang!" ujar beliau.
Sambil menanggung rasa penasaran kami, beliau mengajak Ibu Sri Kurniati (Auditor Madya) melakukan suit. Ketika suit dilakukan, beliau mengeluarkan jari menggabungkan ibu jari dan telunjuk membentuk 'saranghae/sarangheo' (tanda love) yang biasa dilakukan gen Y dan Z ketika berfoto. Tentunya tanda itu mereka dapatkan inspirasinya dari drama korea.
Pak Adi menambahkan, apa pun bentuk yang dikeluarkan lawan bermain kita maka pasti kalah dengan tanda ini. Apa pun yang dilakukan karena cinta maka dia akan menang (hehe). Kami bertepuk tangan dan tidak menduga kalau Pak Pangestu yang terlihat serius dari ekspresi wajahnya, berubah jadi romantis. Apakah ini karena pelatihan dilaksanakan di Yogyakarta?
Saya jadi ingat syair lagunya Adhitia Sofyan: 'Sesuatu di Jogja'. Di antara petikan syairnya:
"Hey cantik. Coba kau catat keretaku tiba pukul empat sore. Tak usah kau tanya aku ceritakan nanti. Hey cantik. Ke mana saja tak ada berita sedikit cerita. Tak kubaca lagi pesan di ujung malam. Dan Jakarta muram kehilanganmu. Terang lampu kota tak lagi sama. Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal. Sampai kapan akan selalu berlari. Hingga kini masih selalu kunanti-nanti. Terbawa lagi langkahku ke sana. Mantra apa entah yang istimewa. Kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja. Dengar lagu lama ini katanya. Izinkan aku pulang ke kotamu. Kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja."
Pembaca yang kreatif, dalam berkomunikasi secara profesional berhati-hatilah dengan killer words. Kata-kata ini dapat memberikan kesan tidak profesional, tidak ramah, dan kelihatan tidak kompeten karena kita lebih banyak menyalahkan orang lain.
Pilihlah magic words, yaitu kata-kata yang memberikan kesan nyaman, penuh penghargaan dan memberikan apresiasi kepada orang lain. Kata-kata ini disuka dan orang lain mendapatkan wawasan yang positif dengan bertemu Anda serta menjadikan komunikasi anda penuh antusias. Cobalah, sehat dan sukses selalu.
*Kaprodi Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan dan Urusan Internasional, Universitas Amikom Yogyakarta