Ahad 01 Nov 2020 06:33 WIB

Budaya Ilmu dalam Islam dan Masalah Pendikotomiannya

Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang berdimensi sosial yang sangat tinggi

Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak.
Foto: Blogspot.com
Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak.

DR KH Masyhuril Khamis (Sekjen PB Al Washliyah) dan H.J. Faisal M.Pd (Mahasiswa Doktoral Program Pascasarjana UIKA Bogor)

Budaya Ilmu dalam Peradaban Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Akar kata peradaban adalah adab. Sedangkan arti kata adab yang sebenarnya bukanlah sopan santun. Adab berarti ilmu, yaitu ilmu untuk memahami suatu budaya yang dilakukan, baik oleh pribadi maupun secara berkelompok berdasarkan nilai ibadah kepada Allah Subhannahu wata’alla.

Dalam pengertian dan pemahaman bahasa, secara etimologi adab berasal dari bahasa Arab yaitu addaba-Yuaddibu-ta’dib, yang artinya mendidik  atau pendidikan. Dalam kamus Al-Munjid dan Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memilki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Yunani, adab disamakan dengan kata ethicos atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.

Sementara arti  budaya sendiri adalah merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus berdasarkan akal dan hasil pemikiran manusia. Jika akal dan pemikiran yang digunakan untuk menghasilkan sebuah budaya, berdasarkan akal dan pemikiran yang  tunduk kepada Allah Subhannahu wata’alla, maka akan terciptalah sebuah budaya luhur yang berlandaskan keimanan dan ketaatan kepada Tuhan, Allah Subhannahu wata’alla. Sedangkan jika budaya dilahirkan dari akal dan pemikiran yang menentang ketentuan Allah, maka akan tercipta sebuah budaya yang kacau dan jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhannahu wata’alla.

Budaya semacam ini sebenarnya adalah budaya yang merendahkan harga diri manusia itu sendiri. Karena sudah dapat dipastikan, jika sebuah budaya yang dihasilkan bukanlah sebuah budaya yang berlandaskan nilai-nilai keTuhanan, itu berarti budaya tersebut dilahirkan atau berdasarkan kepada hawa nafsu manusia itu sendiri.    

Sebuah budaya yang baik dipastikan bersumber dan berdasar dari petunjuk Tuhan, dalam hal ini bersumber dari Al Quran dan sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Sebagai contoh, dalam wahyu yang pertama turun, Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam diperintahkan oleh Allah untuk membaca. Arti membaca di sini bukan saja  diartikan secara verbal, yaitu membaca sebuah hasil karya tulisan, tetapi juga dengan arti membaca yang lain, yang berarti melihat berbagai macam kekuasaan Allah Subhannahu wata’alla di alam, dan mengeksplorasi ilmu yang terkandung di dalamnya. 

Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam dan kita sebagai umatnya diperintahkan untuk mempunyai sebuah kebiasaaan membaca, baik secara qauliyah, maupun secara qauniyah, sehingga membaca bisa menjadi sebuah budaya yang tertanam kuat bagi para muslimin, dimana akhirnya menjadi sebuah ibadah yang bernilai pahala di sisi Allah Subhannahu wata’alla., karena perintah membaca memang merupakan  hal yang bersifat wajib, yang otomatis memberikan pahala bagi hamba-Nya yang menjalankannya, dan merupakan sebuah dosa bagi hambaNya yang meninggalkannya. Dengan kata lain, membaca atau mencari ilmu sifatnya wajib dilakukan oleh kaum muslimin secara pribadi atau perseorangan (fardhu ‘ain).

Begitupun dalam ayat-ayat Allah yang lain, Allah Subhannahu wata’alla memerintahkan hambaNya untuk melaksanakan Sholat dan Zakat. Ini artinya, Allah memerintahkan kita hamba-Nya untuk tidak hanya menjadi manusia yang menyendiri, meskipun rajin beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla. Allah juga memberikan petunjuk untuk membudayakan zakat, dan bersedekah kepada sesama manusia. Artinya, manusia sebagai hamba-Nya harus menghidupkan budaya keperdulian sosial yang tinggi terhadap sesama. 

Itulah mengapa sebenarnya peradaban dalam Islam sangat mudah dibangun. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang  berdimensi sosial yang sangat tinggi. Islam bukanlah agama yang bersifat pribadi. Karena itulah mengapa dunia barat tidak sanggup untuk mencegah perkembangan budaya dan peradaban Islam. Di satu sisi, mereka sangat takut Islam berkembang, tetapi di sisi lain mereka sendiri tidak mampu mencegahnya. Dan itulah mengapa juga aspek budaya sosial dalam Islam tidak boleh berkembang di barat. Karena ketika sebuah budaya sosial sesama umat Islam telah terjalin dan terbangun, maka secara otomatis ikatan ukhuwah umat Islam akan menjadi sangat kuat. Kekuaatan muslimin inilah yang sangat dihindari dan ditakutkan oleh masyarakat Barat, sejak dahulu hingga saat ini.

Peradaban itu sendiri berasal dari berkembangnya sebuah budaya dalam sebuah wilayah. Jika demikian, jelaslah bahwa peradaban yang Islam ajarkan kepada manusia, adalah peradaban yang dibangun dari sebuah budaya yang cinta ilmu. Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam pernah bersabda di dalam sebuah hadits yang sangat sering kita dengar, yaitu: ‘Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat’. 

Ini artinya Islam menginginkan umatnya untuk terus mencari ilmu sepanjang hidupnya. Karena dengan ilmu itu, maka umat Islam dapat memahami cara yang benar atau syariat yang lurus dalam beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla.  Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, ilmu yang bagaimana yang harus kita cari sebagai umat Islam?  Jawabannya adalah ilmu yang dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Subhannahu wata’alla (Ma’rifatullah), dan ilmu yang dapat memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi manusia lainnya (‘Ilman nafian).

Dan karena kecintaan terhadap ilmu itupula sebabnya, mengapa Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam mengganti nama kota Yatsrib menjadi Madinah. Madinah mempunyai makna sebagai agama yang beradab, yang dilandasi berbagai macam ilmu sebagai landasan untuk beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla. Dan terbukti, sejak kedatangan Rasulullah ke kota Madinah pada tahun 621 M, peradaban kota tersebut menjadi peradaban yang semarak dengan ilmu pengetahuan. Mengapa demikian? Karena peradaban dalam Islam tidak akan pernah bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu dan sains. Juga karena Islam sendiri sangat mendorong umatnya untuk mendapatkan ilmu. Itulah mengapa Islam adalah satu-satunya agama yang rasional bahkan supra rasional.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M (tidak sampai seabad setelah wafatnya Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam) . Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang berkembang adalah pendidikan Islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia sampai sekarang. Para cendikiawan muslim tersebut tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dari berbagai sumber, tetapi juga menambahkan hasil-hasil penyelidikan dan penelitian yang mereka lakukan dan juga hasil pemikiran mereka ke dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan diberbagai bidang termasuk ahli filsafat (filosof-filosof islam).

Tradisi pengkajian ilmu dikalangan umat Islam dengan semangat, kecintaan dan kesungguhan dalam belajar, menghafal, diskusi, menulis dan mencari ilmu hingga ke lintas Negara, yang mana menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam pada waktu itu.  Maka wajar saja, buah dari peradaban ilmu tersebut, bermunculan tokoh-tokoh besar ilmuan dan ulama, seperti, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi,  As-Suyuthi, Ibnu Rusyd, Ibnu Nafis, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Mereka menjadi referensi umat dalam berbagai persolan kehidupan. Mereka memahami dan menguasai berbagai disiplin ilmu.  Selain ilmu agama, seperti ilmu tafsir, hadist, aqidah, fiqh dan tassawuf, mereka juga menguasai ilmu fisika, sastra, kedokteran, kimia, sejarah, teknologi dan ilmu –ilmu umum lainnya. Mereka tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, meskipun ada perbedaan ruang kajian kedua ilmu tersebut. Menariknya, pengkajian ilmu pengetahuan dalam tradisi dan budaya Islam selalu totalitas dan selalu berpegang pada aspek ilahiyyah dan juga adab. Sehingga semakin luas ilmu yang diperoleh maka semakin tinggi pula amal yang dihasilkan.

Bahkan pada masa keemasan Islam saat itu, para kaum Yahudi dan Nasranipun selalu bergaya dan ingin berbudaya seperti gaya dan budayanya umat Islam, yaitu berilmu, cerdas, sopan dalam berbusana, dan senang dengan inovasi dalam ilmu dan sains. Mereka malu jika menonjolkan kebudayaan mereka sendiri, karena mereka menyadari bahwa budaya mereka sebenarnya masih teramat rendah jika dibandingkan dengan budaya umat Islam pada saat itu. Mengapa budaya mereka dinilai  rendah? Karena orang Yahudi adalah orang-orang yang sebenarnya cerdas, tetapi mereka tidak mau mengamalkan ilmu mereka. Sehingga tidak ada budaya yang muncul dari sikap yang demikian (Al Maghduub). Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang banyak  amal, tetapi tidak memiliki landasan ilmunya. Sehingga dari sikap yang demikian, yang muncul adalah budaya yang tidak ilmiah, atau budaya yang berdasarkan prasangka dan hawa nafsu  manusia semata (Ad Dhaliin). Sedangkan Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk berilmu, dan wajib mengamalkannya kembali demi kebaikan bersama (As Shirattal Mustaqiim).  

Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan terkesan mundur hingga abad ke-21 M. ini. Dan yang terjadi kini sebaliknya. Setelah 400 tahun kejatuhan peradaban dan budaya ilmu Islam yang sangat luhur, dan Barat memegang dominasi dan hegemoni budayanya di seluruh dunia saat ini, dan umat Islam malah mengikuti gaya dan budaya mereka. Saat ini mayoritas umat Islam, khususnya para kaum mudanya yang merasa diri mereka sebagai pribadi-pribadi yang modern, malah merasa malu dan enggan untuk menjalani kehidupannya dengan mengikuti perintah Allah Subhannahu wata’alla. dan sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Saat ini kita akui bahwa Barat telah berhasil menanamkan paham sekularisme dan liberalisme mereka  kepada sebagian besar masyarakat dunia, tidak terkecuali terhadap umat Islam.

Alqur’an daan sunnah hanya dianggap sebuah dogma yang tidak ada kaitannya dengan ilmu pengetaahuan, sains, teknologi, dan kemajuan zaman. Padahal sejatinya, awal mula budaya ilmu pengetahuan dan sains berkembang di awal abad ke 7 M yang dipelopori oleh ilmuwan Islam, semuanya berlandaskan petunjuk dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Dasar peradaban keilmuan Islam adalah keimanan kepada Allah Subhannahu wata’alla. Maka  akhirnya yang muncul adalah sebuah peradaban ilmu pengetahuan yang terbalut di dalam keimanan kepada Allah. Sehingga  Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut digunakan  untuk beribadah kepada Allah. Misalnya, awal munculnya ilmu astronomi adalah untuk mempermudah  mengetahui awal puasa. Penemuan Ilmu matematika adalah untuk mempermudah dalam pengukuran dan juga untuk mempermudah transaksi dalam berdagang. Perhitungan ilmu ekonomi untuk bermuamalah, dan lain sebagainya. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement