REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Selain itu, 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.
Artinya, ada lebih dari 50 persen responden mengakui warga sekarang ini mengalami ketakutan menyatakan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi ini menunjukkan alam bawah sadar responden yang mulai takut mengungkapkan pendapatnya.
Kondisi ini tidak sejalan dengan demokratis partisipatoris deliberatif yang diungkapkan oleh filsuf dan sosiolog dari Jerman, Juergen Habermas. Demokratis partisipatoris deliberatif merupakan gugatan atas model demokrasi perwakilan yang menempatkan warga hanya sebatas pada memilih anggota parlemen.
Demokrasi deliberatif meyeimbangkan kekuasaan administratif negara dengan memunculkan dialog dan diskursus dalam masyarakat sipil. Untuk itu, masyarakat harus diberikan kebebasan berbicara dalam debat politis.
Survei ini mengingatkan saya pada sebuah tugas kuliah sekitar enam tahun yang lalu. Kala itu, menjelang Pemilihan Umum 2014, saya dan teman-teman saya mendiskusikan soal kondisi demokrasi deliberatif di Indonesia yang mulai tidak sehat lantaran orang membawa emosinya dalam pilihan politik.
Pilihan politik diletakkan pada persoalan personal, yang menyangkut nilai-nilai hingga selera atau kesukaan. Masalah muncul ketika orang membawa hal ini pada diskursus politik di media sosial.
Orang mencari afirmasi, dukungan, dan menyingkirkan pendapat yang berbeda. Diskusi tidak lagi diletakan untuk menhormati pendapat yang berbeda, melainkan menjadi persoalan personal.
Alhasil, ketika berbeda pendapat, orang tidak lagi menyerang pendapatnya, melainkan personalnya atau pribadinya. Kalau pun yang diserang pendapatnya, ada saja orang yang mengambil hati dan menganggapnya serangan pada pribadi.
Kondisi media sosial yang seharusnya menjadi ruang yang memberikan kebebasan berpendapat dalam debat sosial pun luruh. Media sosial terpecah menjadi dua kubu dengan anggapan "kalau kamu tidak mendukungku maka kamu melawanku".
Media sosial yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi justru menciptakan ketegangan komunikasi, khususnya pada orang-orang yang punya kedekatan. Alhasil, orang yang menggunakan media sosial khawatir berbeda pendapat dengan orang-orang yang dikenal di dunia nyata (offline). Pengguna media sosial takut untuk mengunggah pendapatnya karena khawatir memiliki hubungan buruk dengan temannya atau keluarganya.
Ketakutan dan kekhawatiran itu makin diafirmasi dengan fitur-fitur pada medium. Pengguna media sosial menahan diri untuk mengungkapkan pendapatnya karena tidak mau kena block, unfriend, mute, atau tombol-tombol lain yang membuatnya tidak terhubung dengan jaringan dekatnya.
Sejak enam tahun, demokrasi deliberatif dan ruang publik yang diimpikan Habermas sudah sudah sulit terwujud pada debat politik di Indonesia lantaran pendukung yang berlaku seperti fans dan logika medium yang mempertemukan pengguna hanya pada pengguna lain yang berpendapat senada. Setelah enam tahun, kondisinya tidak makin membaik dan bahkan makin buruk.
Hal yang membuatnya makin buruk, diskusi politik bukan hanya masih bercampur emosi, melainkan juga sudah dicampuri oleh kekuatan negara. Padahal, ruang publik sebaiknya dijauhkan dari aparat negara sehingga demokrasi deliberatif dapat terwujud.
Survei yang dilakukan oleh Indikator memperlihatkan bahwa masyarakat merasakan keberadaan aparat dalam diskusi politik. Mayoritas publik, lebih dari 50 persen responden, setuju bahwa aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat.
Sebanyak 37,9 persen responden menyatakan agak setuju bahwa aparat makin semena-mena. Sebanyak 19,8 persen menilai sangat setuju aparat makin semena-mena terhadap warga yang berbeda pilhan politiknya dengan penguasa.
Aparat masuk dalam narasi-narasi soal politik di media sosial bukan hanya untuk menertibkan hoaks atau disinformasi. Namun, aparat masuk juga pada diskusi politik.
Berdasarkan pengamatan pada kasus hukum yang terkait diskusi politik, aparat masuk melalui dua pintu. Pertama, 'penggemar' tokoh politik yang marah karena idolanya diekspresikan dengan cara yang buruk di media sosial. Kedua, aparat langsung masuk menggunakan norma-norma dalam undang-undang, khususnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), untuk menjerat pengguna lantaran ekspresinya di media sosial.
Entah sampai kapan kondisi ini bakal berlangsung. Apakah tiga tahun lagi bakal berubah? Atau, bakal lebih buruk? Tidak ada yang tahun. Namun, alat-alat negara harus memahami bahwa ruang publik, di mana semua orang setara dan berisi debat politik, seharusnya menjadi milik publik.
Tidak dapat dimungkiri hoaks/disinformasi turut merusak kualitas demokrasi. Akan tetapi, hal itu bukan menjadi alasan bagi alat-alat negara untuk masuk pada diskusi yang seharusnya menjadi milik publik.
Sebab, narasi-narasi pada arus utama di dunia politik mulai dari pembentukan legislasi hingga informasi di media massa sudah dikuasai oleh elite atau orang-orang yang memiliki kekuasaan politik.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id