REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan berdasarkan temuan dan pengawasan di lapangan, banyak sekolah di Tanah Air yang hingga kini tidak berani menerapkan kurikulum darurat. "Sekolah tidak berani menerapkan karena dinas pendidikan tidak pernah memberikan pengarahan," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin (2/11).
Hal tersebut rata-rata ditemukan KPAI di sekolah-sekolah negeri yang masih menunggu arahan dinas pendidikan setempat sebelum menerapkan kurikulum yang akan digunakan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ujar dia, pada dasarnya memberikan opsi tiga kurikulum salah satunya kurikulum darurat di masa pandemi Covid-19.
"Justru kurikulum darurat tidak dipilih. Memang ada yang menerapkan misalnya SMA Negeri di Mataram tapi kebanyakan tidak," kata Retno.
Ia mengatakan dengan adanya penyederhanaan kurikulum tersebut, seharusnya memberikan kemudahan bagi sekolah, guru dan pihak-pihak terkait terutama bagi anak didik. Namun fakta di lapangan sekolah-sekolah lebih cenderung memakai kurikulum 13 yang kurang relevan dengan kondisi saat ini. Akibatnya, transformasi pendidikan kepada anak-anak juga menjadi berat.
Retno berpandangan apabila kurikulum darurat yang pada hakikatnya bertujuan mempermudah proses pembelajaran di masa pandemi Covid-19 tidak dijalankan, artinya ada persoalan serius yang harus segera ditangani Kemendikbud. "Harusnya dimonitoring, karena itu tugas mereka," ujarnya.
Secara umum, KPAI menilai segala macam kebijakan bagus yang dikeluarkan oleh Kemendikbud seharusnya disosialisasikan secara merata dan baik hingga ke tingkat satuan pendidikan. Beberapa masalah yang terjadi terutama saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) ialah kebijakan-kebijakan yang baik tadi tidak tersampaikan dengan maksimal ke semua daerah.
"Butuh disosialisasikan, didampingi. Namun ini yang kurang dilakukan," ujarnya.