REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 tidak pandang bulu dalam memporak-porandakan perekonomian masyarakat. Termasuk juga dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ikut terdampak wabah corona, hingga omzetnya turun drastis. Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (IUMKM) Indonesia, Hermawati Setyorinny, menuturkan, pihaknya sangat prihatin dengan nasib pelaku UMKM yang ekonominya ikut tersendat.
"Dampaknya di (sektor) makanan penurunannya mungkin maksimal 60 persen. Paling parah fashion dan jasa bisa sampai 90 persen (turun) pendapatannya mereka. Banyak teman-teman yang ngeluh," kata Hermawati dalam webinar bertema 'UMKM Penopang Pemulihan Ekonomi' di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hermawati mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, pengusaha fashion banyak sekali memiliki peluang untuk memasarkan usahanya, yaitu lewat bazaar, pameran, dan acara lainnya yang difasilitasi kementerian. Sayangnya, metode penjualan seperti itu harus terhenti sejak Maret lalu, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Menurut dia, memang pelaku UMKM bisa mengambil peluang dengan berjualan secara online atau digital, tapi tidak semua terbiasa dan bisa dengan konsep seperti itu.
Berdasarkan data yang dipegangnya, Hermawati menuturkan, dari total 67 pelaku UMKM di Indonesia, baru 13 juta pengusaha yang sudah memanfaatkan media digital untuk mendukung penjualan usahanya. Dia juga menyinggung, program Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) yang meluncurkan program 1 juta UMKM masuk ranah digital sebenarnya sangat menolong pelaku usaha mikro dan kecil.
Sayangnya, menurut Hermawati, dari 1 juta UMKM yang berjualan secara digital, tidak semuanya paham bagaimana cara berjualan dan menarik minat pembeli. Alhasil, pelaku UMKM tetap tidak bisa menutupi kerugian selama tidak berjualan akibat pandemi dengan cara berjualan digital, lantaran kurang memahami teknologi. "Dia masuk di pasar dengan penjual banyak, dia tidak tahu apa-apa, dia jadi penjual pasif," ucap Hermawati menjelaskan kendala yang dialami pelaku UMKM dalam menghadapi pasar dunia digital.
Melihat pelaku UMKM yang selama ini menyerap tenaga kerja puluhan juta bisnisnya ikut goyah, Hermawati menyebutkan, pemerintah memang sudah responsif dengan mengeluarkan kebijakan yang luar biasa. Dia menjabarkan, pengusaha kecil dan mikro terkesan dianakemaskan, karena semua kementerian dan organisasi pemerintah fokus berbondong-bondong memberi perhatian.
Sayangnya, segala kebijakan yang diambil, seperti restrukturisasi atau relaksasi kredit dalam tataran implementasi ditangkap berbeda oleh pelaku di lapangan. Pun dengan pengusaha mikro dan kecil kadang tidak mendapatkan informasi secara lengkap dalam menyikapi kebijakan pemberian keringanan, hingga ditangkap mereka tak perlu membayar kredit selama pandemi.
"Tarulah saya pernah dampingi UMKM masalah kredit di bank, padahal sudah ada kebijakan Kemenkeu ada subsidi bunga, kenyataannya mereka ada kelonggaran, tetapi bunga tetap diberlakukan. Ada peluang (UMKM wajib) tak membayar. dikenakan membayar bunga," ucap Hermawati.
Asisten Deputi Koperasi dan UMKM Kementerian Koordinator Perekonomian, Iwan Faidi, menuturkan, menghadapi pandemi Covid-19 memang pemerintah harus cepat tanggap melakukan exit strategy agar perekonomian nasional, khususnya UMKM tidak ambruk. Saat ini, kata dia, pemerintah sudah mengalokasikan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang khusus untuk UMKM dianggarkan sebesar Rp 123,46 triliun.
Dana sebesar itu digelontorkan untuk mendukung UMKM mendapat stimulus subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit, juga penjaminan, serta adanya penambahan dana untuk menambah investasi di Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang sekarang khusus untuk koperasi sebesar Rp 1 triliun.
Iwan menambahkan, program keringanan untuk UMKM juga terkait pembayaran pajak yang ditanggung pemerintah selama enam bulan, subsidi bunga enam bulan, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit gagal sebesar Rp 78 triliun, belanja imbas jasa penjaminan (IJP) Rp 5 triliun, penjaminan untuk modal kerja Rp 1 triliun, pembiayaan investasi kepada koperasi melalui LPDB-KUMKM Rp 1 triliun, dan PPh final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) Rp 2,4 triliun.
Semua kebijakan yang ditempuh dengan melibatkan institusi terkait demi menyelamatkan ekonomi pelaku UMKM. "Ini desain kebijakan melibatkan lembaga terkait, yaitu BI (Bank Indonesia), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), kita menjaga governance untuk akuntabilitas. Itu stimulus yang diberikan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini," kata Iwan.
Direktur Sistem Manajemen Investasi Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, Djoko Hendratto, menjelaskan, betapa pentingnya peran UMKM dalam struktur perekonomian Indonesia. Menurut dia, produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 60,34 persennya disumbang sektor UMKM. Pun dengan sumbangsih tenaga kerja UMKM mencapai 97 persen dari total lapangan pekerjaan, menyumbang total ekspor 14,17 persen, dan berkontribusi 58,18 persen total investasi.
Djoko menyampaikan, data struktur UMKM dalam perekonomian nasional merujuk sumber Kemenkop UMKM dan Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, terdiri 5.500 pelaku usaha berskala besar, 60.702 skala menengah, 783.131 skala kecil, dan 63,5 juta (98,7 persen) berskala mikro. Dia menyinggung, UMKM tangguh menghadapi krisis 1998, di mana 64 persen tidak berubah omzetnya, 31 persen menurun, dan satu persen berkembang. Djoko mengutip hasil penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) 2013, yang menunjukkan selama krisis ekonomi 1998, tenaga kerja di sektor UMKM hanya turun 0,1 persen.
"Dalam resesi global 2008, UMKM tidak terdampak signifikan karena ketergantungan ekonomi ke ekspor rendah. Namun krisis akibat pandemi berbeda dengan 1998 dan 2008, apakah UMKM mampu bertahan?" kata Djoko.
Karena itu, pemerintah menempuh kebijakan memberi subsidi bunga kepada pelaku UMKM agar mengajukan keringanan langsung kepada lembaga pemberi pinjaman. Bagi mereka yang memiliki pinjaman di bawah Rp 500 juta, sambung dia, mendapat subsidi bunga enam persen untuk tiga bulan pertama, dan tiga persen untuk tiga bulan kedua. "Kalau mendapatkan pinjaman di atas Rp 500 juta mendapatkan subsidi bunga tiga persen untuk tiga bulan pertama, dan dua persen untuk tiga bulan berikutnya," ucap Djoko.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Anto Prabowo, mengatakan, realisasi kebijakan restrukturisasi kredit perbankan per 7 September 2020, mencapai Rp 884,5 triliun dari total 7,38 juta debitur. Dia menyebutkan, keringanan kredit itu dinikmati sebanyak 5,82 juta pelaku UMKM dengan nilai Rp 360,6 triliun. Sementara 1,56 juta non-UMKM memperoleh keringanan kredit senilai Rp 523,9 triliun.
Anto menambahkan, OJK sudah mengerahkan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas pasar keuangan serta meringankan beban masyarakat, pelaku sektor informal dan UMKM, serta pelaku usaha lainnya. Hal itu sekaligus untuk menjaga stabilitas dan kinerja lembaga jasa keuangan. Agus menegaskan, kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan pelaku pasar sehingga mampu meningkatkan capital inflows dan sebaliknya menahan capital outflows.
Relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit oleh OJK yang diperkuat dengan kebijakan pemerintah, melalui subsidi bunga dan penempatan dana pemerintah di bank umum terbukti membantu lembaga jasa keuangan dan pelaku usaha tetap dapat melanjutkan kegiatan usahanya di tengah pandemi. Hal itu juga ditopang oleh kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang akomodatif melalui penurunan suku bunga acuan dan quantitative easing.
"Ke depan, OJK terus konsisten memperkuat pengawasan terintegrasi untuk dapat mendeteksi lebih dini potensi risiko terhadap stabilitas sektor jasa keuangan dan juga mendukung terlaksananya program PEN secara menyeluruh guna mengakselerasi pemulihan ekonomi," kata Anto dikutip dari siaran pers.