Rabu 04 Nov 2020 01:50 WIB

Toxic Positivity Meningkat Pesat di Tengah Pandemi

Mendorong pikiran positif bukan cara untuk mengatasi masa-masa sulit seperti pandemi.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Reiny Dwinanda
Sedih dan menangis (ilustrasi). Ada efek jangka panjang dari toxic positivity.
Foto: Republika/Prayogi
Sedih dan menangis (ilustrasi). Ada efek jangka panjang dari toxic positivity.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 bukanlah masa yang mudah untuk dilalui. Banyak orang mengalami penurunan penghasilan hingga kehilangan pekerjaan.

Banyak juga yang mengalami beban ganda, pemasukan berkurang lalu sakit Covid-19 atau kehilangan anggota keluarga karena penyakit akibat infeksi virus corona tipe baru itu. Ketika mendengar kabar seperti itu, orang cenderung mencoba menyemangati dengan mengatakan, “semua akan baik-baik saja dan semuanya akan berlalu.”

Baca Juga

Siapa sangka, ketika berlebihan pernyataan tersebut dapat berubah menjadi negatif. Pakar kesehatan mental menyebutnya toxic positivity. Menurut Direktur Pengembangan Program di Newport Institute, Heather Monroe, toxic positivity adalah sebuah gagasan yang membuat kita harus berfokus hanya pada emosi postif dan aspek positif kehidupan.

"Ini adalah keyakinan jika kita mengabaikan emosi yang sulit, kita akan jauh lebih bahagia," kata Monroe, dilansir Huff Post, Selasa (2/11).

Masalahnya, toxic positivity mengubah manusia dalam memproses emosi. Dampaknya bisa merusak kesehatan mental. Monroe menjelaskan, ada efek jangka panjang dari toxic positivity, termasuk mendorong seseorang untuk tetap diam dalam penderitaan mereka.

Sering kali, mencoba menyembunyikan atau menyangkal perasaan malah lebih menyebabkan stres pada tubuh dan meningkatkan kesulitan dalam menghindari emosi yang mengganggu. Optimisme yang kuat dan menutup perasaan negatif tidak akan membuat perasaan itu hilang, justru memperburuk.

Toxic positivity telah meningkat pesat di tengah pandemi Covid-19. Menurut psikoterapis asal London, Noel McDermott, salah satu contoh toxic positivity terbesar adalah di bidang penolakan yang bersifat traumatis pandemi.

"Anda melihat ketika orang memberikan ,pengalaman positifnya selama lockdown, di mana mereka bisa mengembangkan diri dan belajar untuk hidup damai dengan batin mereka," kata Noel.

Sekarang kita tahu, mendorong pikiran positif bukan cara untuk mengatasi masa-masa sulit. Lalu apa langkah yang sebaiknya kita lakukan?

1. Izinkan diri untuk memiliki emosi negatif dan positif

Ingatkan diri bahwa Anda mampu memegang berbagai perspektif tentang situasi yang tidak pasti atau meresahkan. Bahkan, saat Anda berada di tengah-tengahnya. Bersandarlah pada hal positif dan negatif, jadilah realistis.

“Berlatihlah bersyukur atas apa yang Anda miliki, tetapi juga jujur ​​dan ungkapkan apa yang mengganggu Anda. Seperti perayaan yang terlewat atau kekhawatiran tentang masa depan jika terjadi di pandemi ini,” kata Monroe.

2. Perhatikan kecemasan Anda lebih dalam melalui jurnal atau latihan mental

Psikiater New York City, Jenny Maenpaa mengatakan, ada strategi untuk memeriksa kecemasan dan mengelolanya. Teknik pernapasan dalam ditambah dengan meditasi terpandu dan mengakui agar terus bergerak maju sering kali membantu.

“Strategi lain adalah membuat jurnal sebelum tidur atau kapan pun Anda merasa kewalahan. Sebab, otak kita dapat menyimpan banyak pemikiran jangka pendek di dalamnya sekaligus untuk berjaga-jaga jika kita membutuhkannya pada saat itu juga,” kata Maenpaa.

Menurutnya, ini berarti saat memikirkan tentang ketakutan atau kecemasan, otak mengodekan sebagai hal penting dan menyimpannya.

“Ketika kita memberi diri izin untuk menyimpan banyak kebenaran yang tampaknya saling bertentangan dalam pikiran kita pada saat yang sama, kita dapat menghilangkan ketegangan di antara mereka serta memberi ruang pada semua emosi positif dan negatif kita,” jelas Maenpaa.

3. Setelah menyelidiki faktor penyebab cemas, lakukan upaya ekstra untuk menjaga diri sendiri

Buatlah proyek untuk merawat diri sendiri. Mengambil tindakan untuk diri sendiri berarti mengatur waktu tidur, berolahraga teratur, makan makanan bergizi, dan berbicara lebih banyak tentang kekhawatiran Anda kepada orang-orang yang dicintai.

"Anda juga dapat mengembangkan kebiasaan pikiran yang memungkinkan Anda menemukan makna dalam perjuangan. Apakah itu melalui agama, latihan spiritual, atau dengan melekat pada penyebab yang lebih besar,” kata Noel.

Jika anda mengikuti anjuran itu, Anda memberi diri Anda hak pilihan. Sedangkan toxic positivity hanya memberi Anda hal-hal baik, tapi nyatanya itu tidak membantu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement