REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christianingsih*
Umat Islam tidak boleh disamakan dengan para teroris. Pernyataan yang disampaikan mantan presiden Prancis Francis Hollande ini bak air yang disiramkan ke tengah kobaran api. Di tengah memanasnya umat Muslim akibat pernyataan kontroversial Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang Islam, Hollande datang dengan kalimat yang mendinginkan.
Menurut Hollande, melabeli Islam sama dengan terorisme akan menjadi kesalahan yang bisa menjerumuskan ke dalam konflik yang tidak ingin kita sentuh. Penulis setuju dengan pandangan ini.
Rentetan teror dan penyerangan yang oleh segelintir oknum yang mengatasnamakan Islam tak hanya merugikan para korban. Namun umat Islam juga menjadi korban tindakan keji itu karena seakan memunculkan stereotip bahwa Islam adalah agama teroris.
Adalah hal yang bisa diterima jika Macron geram dengan pemenggalan seorang guru di Prancis oleh pemuda Chenhnya, Abdoullakh Abouyezidovitch. Hal yang lebih buruk adalah pemenggalan itu terjadi di kala polemik ucapan Macron yang tak melarang majalah Charlie Hebdo menerbitkan kartun Nabi Muhammad masih hangat-hangatnya.
Akan tetapi Macron tidak sedang memimpin serombongan peserta unjuk rasa. Dia sedang memimpin sebuah negara sehingga harusnya ia jangan meledak-ledak dengan melontarkan pernyataan yang mengindikasikan ada kaitan antara agama dan tindakan terorisme. Ucapan itu pun akhirnya ia klarifikasi dalam sebuah wawancara ekslusif dengan Al Jazirah.
Usai rentetan serangan di Paris, insiden yang dikaitkan dengan sentimen agama kembali terjadi di Wina, Austria pada Selasa (3/11). Kejadian ini terjadi di dekat sinagoge, tempat ibadah Yahudi. Pelakunya dituduh sebagai teroris Islam.
Sampai tulisan ini dibuat, ada empat korban meninggal akibat serangan itu. Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer menyebut serangan penembakan yang terjadi di Wina dilakukan setidaknya oleh satu teroris Islam yang berafiliasi dengan ISIS.
Mohamad Elmasry seorang Associate Professor Studi Media dan Budaya di Institut Doha untuk Program Pascasarjana pernah menulis opini berdasarkan risetnya. Tulisan tersebut dipublikasikan Middle East Eye pada Juni tahun ini. Riset Elmasry menduga ada standar ganda dalam peliputan berita terorisme yang dilakukan media AS.
Dia meneliti lima serangan besar dalam kurun waktu enam bulan yakni di akhir tahun 2015 hingga awal 2016. Terdapat lima kejadian di Ankara, Turki dan Maiduguri, Nigeria yang menyasar masyarakat mayoritas Muslim. Dua serangan lainnya terjadi di Paris dan Brussels.
Serangan di Ankara dan Maiduguri yang menelan 222 korban jiwa hanya menghasilkan 72 artikel. Artikel-artikel tersebut dimuat di surat kabar AS selama lima hari. Sementara, dua serangan di Paris dan Brussels dengan jumlah korban 165 jiwa menghasilkan 641 artikel selama lima hari.
Serangan terhadap masyarakat non-Muslim dibingkai hampir secara eksklusif sebagai tindakan terorisme. Namun serangan terhadap masyarakat mayoritas Muslim sebagian besar dibingkai sebagai konflik internal.
Kembali pada ucapan Hollande bahwa umat Islam tidak boleh disamakan dengan para teroris, maka sikap demikian tak hanya berlaku pada para pemimpin negara tapi juga pada semua pihak termasuk media. Kita tentu berharap jangan sampai ada pihak-pihak yang melanggengkan stereotip Islam adalah agama teroris. Mengaitkan agama apa pun dengan tindakan terorisme tidak bisa dibenarkan dan menyakitkan bagi pemeluk agama tersebut.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id