Kamis 05 Nov 2020 11:10 WIB

Covid-19 Bisa Usik Aktivitas Kelistrikan Lobus Frontal Otak

Abnormalitas pada lobus frontal otak jamak pada pasien Covid-19 bergejala neurologis.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi otak manusia. Dokter akan merekomendasikan tes EEG pada pasien Covid-19 yang mengalami gejala neurologis.
Foto: Indianexpress.com
Ilustrasi otak manusia. Dokter akan merekomendasikan tes EEG pada pasien Covid-19 yang mengalami gejala neurologis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 15–25 persen pasien dengan Covid-19 parah mungkin mengalami gejala neurologis, seperti sakit kepala, kebingungan, delirium, gangguan kesadaran, kejang, dan strok. Dokter akan merujuk pasien yang mengalami gejala neurologis untuk tes EEG.

Tes ini melibatkan penempatan elektroda di kulit kepala untuk memantau aktivitas listrik otak. Untuk menyelidiki bagaimana Covid-19 memengaruhi otak, para peneliti dari Baylor College of Medicine di Houston, dan University of Pittsburgh menganalisis hasil EEG dari 617 pasien, yang dilaporkan dalam 84 penelitian berbeda.

Baca Juga

Usia rata-rata pasien yang menjalani EEG adalah 61,3 tahun, dan dua per tiganya adalah laki-laki. Temuan paling umum yang diidentifikasi para peneliti adalah perlambatan gelombang otak dan pelepasan listrik yang tidak normal.

Tingkat kelainan EEG berkorelasi positif dengan tingkat keparahan penyakit dan apakah pasien memiliki kondisi neurologis yang sudah ada sebelumnya, seperti epilepsi. Jurnal Seizure: European Journal of Epilepsy menerbitkan ulasan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan, sekitar sepertiga dari temuan abnormal berada di lobus frontal otak.

"Kita tahu bahwa titik masuk virus yang paling mungkin adalah hidung, jadi tampaknya ada hubungan di antara bagian otak yang terletak tepat di sebelah titik masuk tersebut," kata Dr. Zulfi Haneef, asisten profesor neurologi Baylor College of Medicine, yang merupakan salah satu peneliti tersebut.

"Temuan ini memberi tahu kami bahwa kami perlu mencoba EEG pada lebih banyak pasien, serta jenis pencitraan otak lainnya, seperti MRI atau CT scan, yang akan memberi kami pandangan lebih dekat pada lobus frontal," tambahnya.

Para peneliti mencatat bahwa virus corona tipe baru, SARS-CoV-2, mungkin tidak bertanggung jawab langsung atas semua kerusakan. Efek sistemik dari infeksi, seperti peradangan, kadar oksigen rendah, darah 'lengket' yang tidak biasa, dan serangan jantung, mungkin berperan dalam kelainan EEG yang melampaui lobus frontal.

Studi tersebut mengidentifikasi 'perlambatan difus' di latar belakang aktivitas listrik seluruh otak di hampir 70 persen pasien. Beberapa orang yang telah pulih dari Covid-19 melaporkan masalah kesehatan yang sedang berlangsung, sekarang berlabel 'long Covid'. Di antaranya adalah 'kabut otak' alias brain fog.

Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa individu yang mengeklaim kena Covid-19 hasil tes kognitif online-nya lebih buruk daripada mereka yang tidak percaya mereka tertular virus. Para penulis berpendapat bahwa infeksi tersebut mungkin telah membuat otak orang menua secara kognitif sekitar satu dekade.

Menurut para ahli yang dihubungi oleh Science Media Center di London, Inggris, studi cross-sectional ini tidak membuktikan bahwa infeksi tersebut menyebabkan penurunan kognitif jangka panjang. Namun, ini menyoroti kekhawatiran tentang efek jangka panjang pada otak.

Menurut Dr Haneef, adanya kelainan EEG yang terkait dengan gejala neurologis infeksi Covid-19 menambah kekhawatiran ini. Banyak orang mengira mereka akan kena penyakit, sembuh, dan semuanya akan kembali normal, tetapi temuan ini menunjukkan bahwa mungkin ada masalah jangka panjang, yang merupakan sesuatu yang telah peneliti duga.

"Sekarang kami menemukan lebih banyak bukti untuk mendukungnya," ujarnya, dilansir di Medical News Today, Kamis (5/11).

Sisi positifnya, penulis melaporkan bahwa 56,8 persen dari mereka yang menjalani tes EEG tindak lanjut menunjukkan peningkatan. Para penulis mencatat bahwa analisis mereka memiliki beberapa keterbatasan, termasuk kurangnya akses ke data mentah dari studi individu, seperti jejak EEG.

Dokter mungkin juga tidak melaporkan banyak EEG normal, selain melakukan lebih banyak EEG secara tidak proporsional pada pasien dengan gejala neurologis, yang berpotensi mengganggu hasil penelitian.

Selain itu, dokter memberikan obat anti kejang kepada banyak pasien yang diduga mengalami kejang. Ini mungkin telah mengaburkan tanda-tanda kejang di jejak EEG mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement