REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari mana manusia berasal, hingga alasan keberadaan mahluk hidup mungkin telah menjadi pertanyaan terbesar yang pernah ada. Tidak hanya bagi orang-orang yang sedang mendalami ilmu filsafat, namun demikian dengan mereka di bidang sains.
Manusia hidup di Bumi, yang merupakan salah satu dari sekian banyak planet di alam semesta. Bumi dikenal sebagai planet berbatu, di mana di sekitarnya terdapat planet lain seperti Mars serta Bulan yang juga berbatu dan dapat memberi lebih banyak pengetahuan mengenai banyak misteri.
Bulan dan Mars memberi pengetahuan tentang sejarah Bumi, yang salah satu alasannya adalah di kedua dunia ini terdapat banyak air. Hal itu membuatnya semakin populer untuk eksplorasi di masa depan.
Alasan lainnya adalah, di Bulan dan Mars terdapat beberapa jenis mineral yang ditemukan sama seperti di Bumi, salah satunya adalah olivin.
Pesawat luar angkasa di bulan dan Mars mahir dalam menemukan olivin dari orbit, Namun, para ilmuwan ingin melakukan lebih dari sekadar mengatakan bahwa mineral itu ada di sana.
Komposisi kimiawi olivin penting untuk mengetahui bagaimana batuan di permukaan terbentuk, terutama untuk mengetahui proporsi magnesium dan besi di dalamnya.
“Komposisi memberi tahu sesuatu tentang lingkungan tempat mineral terbentuk, terutama suhu,” ujar penulis utama studi terbaru, Christopher Kremer dari Universitas Brown, Amerika Serikat (AS), dilansir Forbes, Kamis (5/11).
Suhu yang lebih tinggi selama pembentukan menghasilkan lebih banyak magnesium. Sementara, suhu yang lebih rendah menghasilkan lebih banyak zat besi. Mengungkap komposisi tersebut dapat memberi tahu sesuatu tentang bagaimana interior benda-benda planet ini berevolusi sejak pembentukannya.
Ilmuwan sering menggunakan metode yang disebut spektroskopi untuk melihat mineral yang berbeda di permukaan berbatu. Itu karena unsur atau senyawa tertentu diketahui memantulkan atau menyerap berbagai panjang gelombang cahaya secara berbeda.
Para peneliti sekarang memusatkan perhatian pada satu set panjang gelombang yang jarang digunakan oleh pesawat ruang angkasa, antara empat dan delapan mikron. Studi laboratorium menunjukkan panjang gelombang ini dapat memprediksi berapa banyak magnesium atau zat besi dalam sampel olivin dengan akurasi 10 persen.
Jika menggunakan panjang gelombang ini pada pesawat ruang angkasa, dapat dipelajari bagaimana bulan dan Mars terbentuk. Ini kemudian memungkinkan kita membuat analogi tentang Bumi guna membantu memahami beberapa peristiwa besar selama miliaran tahun sejarah kita.
Para ilmuwan masih mencoba memahami dasar-dasar seperti bagaimana air ada di Bumi atau apa yang terjadi setelah dunia seukuran Mars menabrak planet manusia ini, serta puing-puing tabrakan membentuk bulan. Batuan di dunia lain tersebut dapat membantu membuka jawabannya.
Tim peneliti mengatakan mereka berharap pesawat ruang angkasa masa depan mungkin terbang ke salah satu dunia ini yang dilengkapi dengan kemampuan untuk memindai dalam panjang gelombang ini. Sementara itu, kita masih bisa melihat ke langit dalam kisaran ini, seperti dengan teleskop SOFIA yang dibawa pesawat, untuk mengambil beberapa informasi dari Bumi.