Kamis 05 Nov 2020 20:33 WIB

Paparan Panas Tingkatkan Risiko Kelahiran Prematur

Peneliti juga mendapati adanya dampak suhu udara terhadap berat bayi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Bayi prematur (ilustrasi).
Foto: EPA
Bayi prematur (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Paparan suhu udara yang tinggi pada ibu hamil dapat memberikan dampak kurang baik bagi kehamilan. Studi terbaru mengungkapkan, paparan suhu tinggi pada kehamilan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur dan stillbirth atau bayi lahir mati.

Berdasarkan studi yang dimuat dalam jurnal The BMJ, peningkatan suhu sebesar satu derajat Celcius sudah dapat memberikan dampak. Untuk setiap peningkatan satu derajat Celcius, risiko kelahiran prematur dan stillbirth meningkat sebesar lima persen.

Studi ini dilakukan oleh tim peneliti dari University of the Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam studi ini, tim peneliti menganalisis 70 studi lain dari 27 negara. Mereka ingin melihat kaitan antara suhu udara yang tinggi dengan hasil kelahiran, khususnya kelahiran prematur, berat badan bayi, dan stillbirth.

Sebanyak 40 dari 47 studi mengenai kelahiran prematur, tim peneliti mendapati bahwa kelahiran prematur lebih umum ditemukan pada suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu udara yang lebih rendah. Peningkatan satu derajat Celcius pada suhu udara turut meningkatkan risiko kelahiran prematur sekitar lima persen.

Pada hari-hari di mana terjadi gelombang panas, risiko kelahiran prematur meningkat jadi 16 persen lebih tinggi dibandingkan kelahiran di hari-hari tanpa gelombang panas. Kelahiran prematur dapat membuat bayi lebih berisiko terhadap beberapa masalah kesehatan. Di antaranya adalah masalah bernapas, masalah pemberian makan, dan infeksi. Bayi yang dilahirkan secara prematur juga lebih berisiko terahadap disabilitas fisik, disabilitas perkembangan, cerebral palsy, dan masalah penglihatan.

Hal serupa juga ditemukan pada kasus stillbirth. Risiko stillbirth meningkat hingga lima persen untuk setiap satu derajat Celcius kenaikan suhu udara. Pada sebagian besar kasus, kaitan antara suhu udara dan stillbirth tampak paling kuat di pekan atau bulan akhir kehamilan.

Tim peneliti juga mendapati adanya dampak suhu udara yang tinggi terhadap berat bayi yang dilahirkan. Akan tetapi dampak ini dinilai kecil.

Terkait studi ini, tim peneliti menilai mereka masih memiliki keterbatasan dalam hal mengukur faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hasil kehamilan. Salah satu contohnya adalah polusi udara.

Terlepas dari itu, tim peneliti menilai ibu hamil perlu dianggap sebagai kelompok berisiko ketika suatu kondisi terkait panas terjadi. Diperlukan adanya intervensi untuk membantu ibu hamil yang dihadapkan pada kondisi terkait panas.

"Khususnya (ibu hamil) di usia ekstrim dan di kelompok sosial ekonomi lebih rendah," pungkas tim peneliti, seperti dilansir di Mail Online.

Tim peneliti juga menyoroti adanya peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas di dunia. Hal ini membuat jumlah ibu hamil yang terpapar gelombang panas pun ikut meningkat. Selain itu, ada pula beban individual dan sosial terkait kelahiran prematur dan stillbirth yang signifikan.

"Oleh karena itu, penelitian dan inisiatif kebijakan untuk menghadapi koneksi-koneksi ini merupakan prioritas tinggi," ujar tim peneliti.

Hubungan antara suhu udara yang tinggi dan peningkatan risiko kelahiran prematur juga disorot dalam studi terbaru dalam Environment International. Dilansir di New York Times, studi ini memantau hampir dua juta kehamilan tunggal di California selama musim panas 2005-2013.

Studi ini mengungkapkan adanya peningkatan kelahiran prematur yang stabil setiap kali terjadi peningkatan suhu atau durasi gelombang panas. Sebagai contoh, ketika suhu udara 31 derajat Celsius selama dua hari, terjadi kelahiran prematur sebesar 6,63 persen. Lalu ketika suhu udara menjadi 37 derajat Celsius selama empat hari, rasio kelahiran prematur tercatat sebesar 7,46 persen.

Tim peneliti belum mengetahui alasan di balik keterkaitan ini. Tim peneliti menilai ada beberapa faktor yang mungkin memainkan peran ketika suhu udara meningkat. Salah satu yang dicurigai adalah peningkatan suhu udara memicu perubahan hormonal pada ibu hamil.

"Dehidrasi juga dapat memainkan peran. Faktor-faktor ini dapat memicu kontraksi dan kelahiran lebih cepat," kata ketua tim peneliti dari University of California Sindana D Ilango.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement