Ahad 08 Nov 2020 10:54 WIB

Jejak Perkebunan Kopi Era Kolonial di Bittuang Tana Toraja

Sejumlah peninggalan masa kolonial masih bisa dilihat di perkebunan kopi di Bittuang.

Kepala Bagian Penanaman PT. Sulotco Jaya Abadi Agustinus menunjukan Penggorengan yang digunakan untuk proses pengeringan kopi pada zaman Belanda di Perkebunan PT. Sulotco Jaya Abadi, Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11).
Foto: Prayogi/Republika.
Kepala Bagian Penanaman PT. Sulotco Jaya Abadi Agustinus menunjukan Penggorengan yang digunakan untuk proses pengeringan kopi pada zaman Belanda di Perkebunan PT. Sulotco Jaya Abadi, Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MAKALE -- Kecamatan Bittuang yang berada di Kabupaten Tana Toraja, merupakan salah satu wilayah penghasil kopi di Provinsi Sulawesi Selatan. Disini juga, pemerintah kolonial Belanda di masa lampau membuka perkebunan kopi. Peninggalan dari masa perkebunan Belanda dulu, masih bisa ditemui di perkebunan kopi yang ada di Rante Karua, Desa Bolokan, yang kini dikelola oleh PT Sulotco Jaya Abadi.

Ada tiga peninggalan bekas perkebunan Belanda dulu di wilayah ini, yakni bangunan rumah, jalan dan situs pengeringan biji kopi. Diantara tiga peninggalan itu, yang masih paling utuh terlihat adalah rumah, sementara jalan dan situs pengeringan biji kopi sudah termakan zaman. Seperti situs pengeringan kopi, letaknya berada di dalam area perkebunan, dan hanya menyisakan bangunan memanjang dengan tembok yang sudah sepenuhnya tertutup lumut.

Agustinus, Kepala bagian penanaman, PT Sulotco Jaya Abadi menjelaskan, situs pengeringan yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan "penggorengan" itu berada di tengah perkebunan blok A, dari tiga blok perkebunan kopi yang di kelola PT Sulotco Jaya Abadi.

"Di PT Sulotco ada tiga wilayah perkebunan yakni A, B dan C. Tembok pengeringan kopi ini ada di wilayah perkebunan A, dan memang disini posisi perkebunannya yang paling tinggi, sekitar 1.800 MDPL," ujarnya saat ditemui tim Ekspedisi Republikopi, Sabtu (7/11).

Jika dilihat, penggorengan kopi zaman Belanda itu berbentuk bangunan setengah lingkaran dengan panjang kurang lebih dua meter. Kemudian ada rongga dalam bangunan itu, yang dulunya tempat untuk memasukan kayu bakar.

"Kemudian mungkin dulu di atas penggorengan ini dibuat rak atau para-para tempat untuk meletakan biji kopi. Nah, panas dari kayu bakar itu yang digunakan untuk mengeringkan biji kopi. Jadinya semacam green house kalau saat ini," jelasnya.

Agustinus melanjutkan, fasilitas pengeringan memang sangat penting untuk perkebunan kopi, mengingat kondisi alam di wilayah itu. Ia mengatakan, hingga saat ini di area perkebunan belum ditemukan lagi situs-situs peninggalan dari Onderneming Belanda. 

"Penggorengan ini saja baru ditemukan di area wilayah A, sementara area lain belum ada. Mungkin sudah hancur atau bagaimana saya tidak tahu. Tapi kalau di wilayah A memang bangunannya terbuat dari tembok beton, jadi masih bisa bertahan," ucapnya.

Peninggalan kedua adalah jalan membentang dari Desa Bolokan hingga area perkebunan tertinggi di Rante Karua. Agustinus mengatakan, seingatnya sejak awal jalan itu memang sudah dibangun dari susunan batu. Jalan ini masih menjadi akses yang digunakan oleh petani-petani kopi untuk membawa hasil panen ke pabrik pengolahan yang ada dibawah.

Satu-satunya peninggalan yang masih sangat terawat baik adalah rumah yang kemungkinan dulunya digunakan oleh H.J. Stock van Dykk, orang Belanda yang membuka perkebunan disana. Rumah itu kini digunakan sebagai rumah dinas pimpinan PT Sulotco Jaya Abadi serta guest house. Bentuk bangunan rumah yang memiliki tiga kamar itu sama sekali tidak diubah. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati sejuknya air terjun kecil yang berada tidak jauh dari rumah tersebut.

photo
Bangunan berupa rumah peninggalan Belanda yang berada di Wilayah PT. Sulotco Jaya Abadi, Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11). - (Prayogi/Republika.)

Agnes Hoki, R&D Staff PT Sulotco Jaya Abadi, mengatakan situs-situs peninggalan perkebunan zaman kolonial itu bisa dikunjungi oleh masyarakat secara gratis. Ia mengatakan, perusahaannya sebagai pengelola perkebunan tempat situs-situs itu berada tidak menarik biaya apapun bagi wisatawan yang ingin berkunjung.

"Siapapun bisa datang ke sini, tidak ada biaya apapun alias gratis. Bahkan jika wisatawan mau menginap, atau wisata petik ceri kopi juga silahkan gratis. Kami memang mau bergerak ke arah ecowisata," katanya.

"Nanti kalau ada yang mau berkunjung hanya informasikan saja ke kami beberapa hari sebelum datang. Sebab kami harus menyiapkan kendaraan khusus untuk membawa wisatawan ke perkebunan yang paling atas, karena medannya yang cukup sulit ditempuh. Paling nanti hanya biaya makan saja yang kami kenakan biaya, tapi kalau wisatawan membawa makanan sendiri ya tidak apa-apa, kami hanya meminta agar mereka menjaga kebersihan dan kelestarian alam," jelasnya.

Untuk menuju ke perkebunan kopi di Rante Karua, dari Makale, Ibu Kota Tana Toraja, tempat kami menginap perjalanan bisa ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam. Selama perjalanan, kita akan dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan alam indah, seperti pegunungan, bukit baru hingga sungai-sungai luas. 

Sebelum melakukan perjalanan, pastikan kendaraan yang anda gunakan dalam kondisi fit. Sebab, begitu memasuki wilayah Kecamatan Bittuang medan menuju Bolokan mulai sulit. Jalan menanjak dengan kondisi yang rusak akan anda temukan disini, kondisi akan semakin sulit jika turun hujan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement