REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengingatkan bahayanya mengonsumsi daging anjing bagi masyarakat. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Maarif di Jakarta, Senin, mengatakan selama ini banyak beredar anggapan atau mitos di masyarakat mengenai manfaat kesehatan mengonsumsi daging anjing.
"Mengonsumsi daging anjing berisiko membawa penyakit rabies, E coli, Salmonella spp, kolera, dan Trichinellosis," katanya dalam webinar Pengawasan Lalu Lintas Perdagangan Anjing Jawa-Sumatra yang di selenggarakan Forum wartawan Pertanian (Forwatan).
Menurut Syamsul, ada beberapa alasan yang mendorong masyarakat mengonsumsi anjing. Faktor budaya, kepercayaan, mitos, ada juga untuk obat menjadi penyebabnya.
Syamsul menjelaskan, mengonsumsi daging anjing sudah menjadi budaya masyarakat, seperti di Sulawesi Utara, Maluku, Yogyakarta, Solo, dan Sumatra Utara. Syamsul menjelaskan, dilihat dari aspek definisi pangan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, daging anjing bukan bagian dalam produk pangan, karena bukan termasuk peternakan dan kehutanan.
Sedangkan dari aspek kesejahteraan hewan, larangan mengonsumsi daging anjing diatur dalam UU Nomor 18/2009 Juncto UU No. 41/2014 serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Berdasarkan UU Nomor 41/2014 jika terjadi pelanggaran Pasal 91B dan Pasal 302 KUHP mengenai proses pemotongan anjing dengan cara menyakitkan dan dianiaya, pelaku bisa dipidana antara satu hingga enam bulan denda Rp 1 juta hingga Rp 5 juta.
Dilihat dari aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan, Syamsul mengungkapkan, sebenarnya penjualan anjing atau daging anjing dapat dibatasi melalui edukasi/pendekatan secara perlahan.
“Persoalannya perilaku manusia dalam lalu lintas perdagangan anjing yang dilakukan umumnya tidak sesuai prosedur, bahkan melalui jalur tanpa pengawasan,” ujarnya.
Padahal, UU Nomor 18/2009 menyebutkan setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Bagi pelaku yang melanggar akan terkena pidana antara satu hingga lima tahun, denda Rp 150 juta hingga Rp 1 miliar.
“Dari hasil survei, ternyata 82,2 persen pelaku mengetahui aturan hukum, tapi mereka tidak bisa mengubah pola perilaku. Karena itu kuncinya adalah bagaimana kita mengubah perilaku dan sikap masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian Agus Sunanto mengakui, perdagangan anjing menjadi bisnis yang menggiurkan, karena tingginya kebutuhan. Data Badan Karantina Pertanian mencatat lalu lintas perdagangan anjing dari Jawa ke Pulau Sumatra mencapai 2.000 ekor per bulan.
“Tugas Karantina di sini adalah mencegah lalu lintas perdagangan hewan dari daerah wabah rabies ke wilayah bebas rabies. Jadi tidak ada larangan perdagangan anjing sepanjang dari daerah bebas rabies,” ujarnya.
Dalam lalu lintas hewan, menurut Agus, telah ditetapkan persyaratan karantina, yakni melengkapi sertifikat kesehatan hewan dari tempat pengeluaran, status dan situasi daerah asal bebas rabies, memenuhi persyaratan teknis karantina, pemeriksaan dokumen, dan pemantauan.
“Dari sisi karantina, jika perdagangan hewan tidak memenuhi persyaratan, tindakan kami menolak atau memusnahkan,” kata Agus.
Sementara itu, Mery W Fernandez selaku aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang melanggar. Dari hasil investigasi, pihaknya mendapati banyak terjadi perdagangan ilegal anjing, khususnya untuk konsumsi.