Selasa 10 Nov 2020 05:47 WIB

'Impor' Luwak Jawa untuk Kopi Mahal dari Toraja

Kopi Luwak merupakan salah satu kopi mahal di dunia salah satunya ada di Toraja.

Salah satu Luwak (Musang Pandan) yang dipelihara oleh PT Sulotco Jaya Abadi di Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11).
Foto: Prayogi/Republika.
Salah satu Luwak (Musang Pandan) yang dipelihara oleh PT Sulotco Jaya Abadi di Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BITTUANG -- Kopi luwak merupakan salah satu kopi asal Indonesia yang telah terkenal di dunia. Cita rasa khas yang nikmat, nilai eksotis yang tinggi dan sulitnya proses untuk mendapatkannya, membuat kopi jenis ini masuk dalam deretan kopi termahal di dunia.

Mahalnya harga kopi luwak dan banyaknya permintaan dari masyarakat, khususnya di dalam negeri, serta luar negeri, membuat jenis kopi ini menjadi andalan untuk dikembangkan di hampir seluruh wilayah penghasil biji kopi di Indonesia. Salah satunya di PT Sulotco Jaya Abadi, yang mengelola perkebunan kopi di Rante Karua, Bittuang, Toraja.

Menariknya, untuk menghasilkan kopi jenis tersebut, PT Sulotco harus 'mengimport' luwak-luwak dari Provinsi Jawa Timur, tepatnya dari Gunung Ijen, Bondowoso, Jawa Timur. Sebab, meski Toraja dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil kopi terbaik di Indonesia, ternyata luwak-luwak yang ada di hutan-hutan kaki pegunungan disini tidak suka memakan buah kopi.

"Kopi luwak sudah kami kembangkan disini kurang lebih tahun 2009, kami lakukan percobaan untuk memastikan apakah luwak-luwak itu bisa beradaptasi di Tanah Toraja," ujar Research & Development Staff PT Sulotco Jaya Abadi, Agnes Hoki saat berbincang dengan tim Ekspedisi Republikopi di Bittuang.

"Luwak-luwak kami datangkan dari Pegunungan Ijen di Bondowoso. Sebab kalau di sini secara umum luwaknya bukan tipe pemakan kopi. Kalau luwak yang tipe pemakan kopi ada di Jawa dan Sumatra," katanya melanjutkan.

Agnes melanjutkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pihaknya, kopi yang dihasilkan luwak yang ada di kawasan Rante Karua mutunya kurang bagus. Selain itu, pihaknya juga hanya memelihara luwak pandan.

"Kenapa hanya Luwak pandan, karena kami menilai dari kopi dan citarasa yang dihasilkan paling bagus. Luwak pandan itu paling pintar, hanya memakan ceri kopi yang benar-benar matang merah saja. Jadi hasil kopinya yang paling bagus, dari semua aspek yang kita mau, ini yang paling bagus untuk kembangan di Tana Toraja," jelasnya.

Agnes mengatakan, jumlah luwak yang dipelihara di kawasan perkebunan PT Sulotco berjumlah kurang lebih 700 ekor. Luwak-luwak ini ditempatkan dalam dua jenis kandang, yakni kandang produksi dan kandang liar. Di kandang produksi, luwak ditempatkan per satu ekor setiap kandang. Luwak-luwak inilah yang menjadi sumber utama gabah kopi PT Sulotco.

Sementara kandang liar, dibuat di tengah area perkebunan, dengan luas kurang lebih dua hektar. Kandang ini dibuat dengan menyerupai habitat asli luwak di alam liar. Agnes mengatakan, meski kopi luwak menjadi kopi andalan PT Sulotco untuk dijual, namun pihaknya tidak memaksakan setiap luwak untuk menghasilkan kopi dalam jumlah banyak.

"Kami memberikan ceri kopi sesuai dengan berat badan luwak itu sendiri, jadi kalau luwaknya kecil, kami memberikan porsinya juga kecil, kalau besar kami berikan porsi agak besar," ucapnya.

"Kalau produksi, perhari satu luwak paling banyak menghasilkan 50 gram green bean. Jadi total dalam setahun (selama masa panen raya mulai bulan April sampai September) bisa sekitar 10 hingga 20 ton kopi luwak green bean," jelasnya.

photo
Staff Research And Development (RnD) PT Sulotco Jaya Abadi Agnes Hoki memberikan paparan terkait pemeliharaan Luwak (Musang Pandan) di PT Sulotco Jaya Abadi di Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/11). - (Prayogi/Republika )

Sedangkan untuk penjualan, Agnes mengatakan kopi luwak produksi pihaknya masih lebih banyak dijual di dalam negeri. Ia mengatakan, sebab untuk menjual kopi luwak ke luar negeri tidak mudah, karena masih ada beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor belum menerima kopi tersebut terkait isu kesejahteraan hewan.

Namun, Agnes memastikan pihaknya sudah secara ketat menerapkan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan, dan tidak ada eksploitasi atau penyiksaan terhadap luwak di tempatnya. Ia mengatakan, pihaknya sudah membuat kandang yang sesuai agar luwak-luwak itu bisa hidup dengan nyaman.

"Kemudian kesehatan dan kebersihan luwak juga kita perhatikan. Selain itu makanan yang diberikan juga benar-benar diperhatikan sesuai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh luwak. Kami memberikan makanan bukan cuma ceri kopi saja, namun lengkap mulai dari buah, bubur herbal, madu, hingga daging-dagingan seperti ayam dan belut," jelasnya.

Tim Ekspedisi Republikopi berkesempatan mencoba kopi luwak hasil perkebunan PT Sulotco. Salah satu perbedaan rasa yang paling besar dari kopi luwak dibandingkan kopi Toraja adalah rasanya yang smooth alias ringan. Tidak ada rasa getir saat kita menyeruput kopi ini. note rasa manis coklat seperti yang umum ditemukan di kopi-kopi Toraja masih terasa di kopi luwak, namun nyaris tanpa rasa asam (acidity). Jangan khawatir, meski kopi ini diambil dari feses luwak, namun saat diseduh tidak ada aroma yang tidak menyenangkan tercium dari kopi ini. Sebaliknya, aroma buah bercampur coklat yang menyenangkan yang dominan tercium dari seduhan kopi ini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement