REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang yang saat ini mengidentifikasi infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) dengan gejala seperti demam, kelelahan, dan sesak napas. Namun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa tanda-tanda tersebut juga bisa terjadi saat proses pemulihan penyakit atau justru gejala penyakit lainnya, seperti sindrom kelelahan kronis.
"Mungkin ada sindrom pasca-virus yang terkait dengan Covid-19," ujar dr Anthony Fauci, pakar penyakit menular Merika Serikat (AS) pada sebuah konferensi pers yang diselenggarakan oleh International AIDS Society pada Juli lalu.
Meski sindrom kelelahan kronis masih kurang dipahami, CDC mengatakan, sebanyak 2,5 juta orang Amerika mungkin memiliki penyakit ini. Mark VanNess, dari departemen Health and Exercise Science di University of the Pacific mengatakan, sekitar 75 hingga 80 persen kasus penyakit itu terjadi usai infeksivirus.
“Infeksi virus dan respons imun yang muncul berikutnya memicu penyebab gejala jangka panjang,” jelas VanNess.
Sebelum pandemi Covid-19, para ilmuwan dan dokter sudah meneliti hubungan sindrom kelelahan kronis dengan Virus Epstein-Barr. Bagi banyak orang, sindrom ini berkembang setelah infeksi virus dan sekarang tampaknya beberapa pasien Covid-19 mengalami gejala yang mirip dengan gejala yang terlihat pada pasien sindrom kelelahan kronis.
Pengamatan yang dilakukan telah mengarahkan beberapa dokter untuk menyelidiki apakah kedua kondisi tersebut mungkin terkait. Sindrom kelelahan kronis cenderung berlangsung lama dan menyebabkan gangguan fungsional, termasuk kelelahan ekstrem setelah aktivitas fisik atau kognitif, yang dikenal sebagai malaise pasca-aktivitas dan ini dapat berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu.
“Kelelahan yang berkepanjangan setelah beraktivitas ini membuat sindrom kelelahan kronis menjadi unik,” kata Lily Chu, wakil presiden Asosiasi Internasional untuk Sindrom Kelelahan Kronis.
Chu mengungkapkan, untuk sebagian besar penyakit seperti jantung, paru, atau bahkan radang sendi, gejala usai melakukan aktivitas terjadi segera setelah tubuh bergerak. Kombinasi durasi dan tingkat keparahan gejala ini membuat kondisi pasien tidak dapat diprediksi.
Pemahaman para ilmuwan dan dokter tentang sindrom kelelahan kronis telah berkembang secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, pasien didorong untuk meningkatkan aktivitas fisiknya dari waktu ke waktu, tetapi sekarang mereka didorong untuk memahami batasan dan istirahat ketika batas tersebut telah tercapai.
"Hilangkan stres fisik, pelajari langkah-langkah dan metode manajemen energi, ajarkan anggota keluarga tentang penyakit dan intervensinya secara sistematis," jelas VanNess.
Pasien Covid-19 telah disarankan menghindari tekanan untuk kembali bekerja atau melanjutkan aktivitas normal hingga gejala terkendali. Pasien juga dapat mempertimbangkan untuk memakai gawai atau perangkat untuk memantau total jalan atau langkah harian, sehingga mereka dapat lebih memahami ambang aktivitas yang mengarah ke gejala pasca infeksi.
Pasien juga harus mendapatkan istirahat yang cukup untuk membantu menghindari kemungkinan kambuh. Chu mengatakan, kebanyakan pasien harus mengurangi atau berganti pekerjaan, sekolah, pengasuhan keluarga, sosial, dan kegiatan lainnya.
Laporan CDC menyebut, belum sepenuhnya jelas seberapa banyak atau seberapa cepat pasien Covid-19 dapat pulih. Belum diketahui mengapa beberapa pasien mengalami kelelahan yang menetap setelah awalnya pulih dari Covid-19.
Dokter juga belum mengetahui apakah sebagian besar dari pasien tersebut akan mengembangkan sindrom kelelahan kronis. Jika seseorang yang sembuh dari infeksi virus corona baru masih mengalami kelelahan enam bulan kemudian, mereka disarankan untuk menemui dokter dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.