REPUBLIKA.CO.ID,oleh Andi Nur Aminah*
Baru-baru ini, sebuah ajang pemasaran yang dikemas secara virtual baru saja berakhir di Kota Depok. Namanya Depok Virtual Expo. Ini adalah ajang pemasaran virtual yang pertama dengan skala lokal digelar di Provinsi Jawa Barat. Sebuah aplikasi bernawa Swadep.com atau Swalayan Depok, menjadi penunjang berjalannya expo tersebut.
Lebih dari 1.000 produk dipasarkan. Ratusan UMKM yang ada di Kota Depok pun bermitra dengan Swadep. Selama 10 hari berjalan, transaksi melalui platform digital lokalan ini berlangsung. Sebagai daya tarik, iming-iming diskon, bebas biaya pengantaran, hingga model flash sale seharga Rp 5 pun digelar.
Jika tak sedang pandemi, saya yakin penawaran berbelanja murah itu akan diserbu. Tapi karena adanya pandemi, maka kegiatan yang bisa menghadirkan kerumunan orang pun dibatasi.
Aksi perburuan barang diskon lantas beralih ke belanja daring ini. Euphoria berburu produk murah cukup terasa. Produk Rp 5 tentu yang paling diburu. Bagaimana tidak, jika beruntung seorang bisa mendapatkan produk dari harga misalya Rp 15 ribu ke atas hingga yang harga ratusan, namun cukup denga Rp 5 saja.
Pihak Swadep sebagai penyelenggara, berharap dengan adanya produk seharga Rp 5.000 bisa menjadi pemantik pembeli berbelanja produk lainnya. Yang terjadi memang demikian. Karena ludes dalam sekejap, akhirnya pembeli mulai melirik poduk lain yang ditawarkan.
Dari tiga ribuan lebih produk, 80 persennya adalah kuliner atau makanan. Sisanya adalah produk fashion dan kerajian. Bisa ditebak, produk yang paling banyak terjual adalah produk kuliner.
Penawaran berbelanja melalui platform digital tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah juga stakeholder untuk menunjang pemasaran produk pelaku usaha terutama UMKM. Karena faktanya, berkaca pada skala lokal Depok saja, maka masih cukup banyak pelaku UMKM belum sepenuhnya melek teknologi.
Namun kondisi pandemi, memaksa mereka harus lebih berdaya juang. UMKM yang umumnya masih menerapkan 'manajemen tukang sate' harus mau belajar lebih banyak lagi. Karena berjualan melalui platform digital perlu menguasai beberapa hal.
Yang paling penting adalah mempercantik tampilan produk. Lalu memberikan deskripsi semudah mungkin kepada calon pembeli agar produk itu bisa dipahami. Tampilan produk yang cantik, artinya bicara tentang kemasan juga foto produk.
Berjualan atapun menawarkan ide dan konsep melalui platform digital, sebisa mungkin membuat calon pembeli jatuh cinta pada pandangan pertama. Foto produk yang bagus, akan memanjakan mata. Selanjutnya, memberikan deskripsi singkat tentang produk harus dilakukan. Mengapa? Karena tak ada interaksi yang terjadi antara pembeli dan penjual hingga akhirnya pembeli memutuskan untuk berbelanja.
Pelaku usaha yang selama ini berjualan secara tradisional bisa terkaget-kaget saat jualannya ditawar lewat platform digital ini. Seorang pedagang buah misalnya. Selama ini mungkin hanya duduk menunggu pembeli hingga terkantuk-kantuk. Tapi begitu dia mencoba memfoto buah jualannya, lalu dibagikan ke semua nomor kontak di teleponnya, dibagikan ke media sosial dengan cara benar, yang terjadi dia akan kedatangan pembeli dari berbagai penjuru. Sampai di sini, siapakah yang berjasa? Jawabannya, merekalah para perancang platform berbelaja digital itu.
Selanjutnya, aktivitas memasarkan secara digital perlu di-backup oleh naskah dan didukung oleh gambar-gambar yang keren. Dan itu, ada ilmunya. Beberapa bulan terakhir ini, saya sedikit keranjingan mengikuti webinar dan kelas online yang muncul di grup-grup Whatsapp. Materinya seputar mempercantik media sosial. Istilah kerennnya social media make over.
Sebetulnya, kelas-kelas seperti ini sudah mulai diminati sekitar lima tahun terkhir. Namun adanya pandemi memaksa banyak orang harus berdamai dengan kondisi bahwa tak boleh banyak bepergian, berkumpul dan berinteraksi. Maka saat ini, kelas-kelas online yang diisi sejumlah praktisi pun kian diburu peminat.
Pengisi kelas-kelas online ini mau berbagi ilmu, sabar melayani interaksi di kelas online, mengajari tahap demi tahap pertanyaan dan bahkan langsung mengajari praktiknya hingga berhasil. Hebatnya lagi, tidak jarang mereka berbagi ilmu tersebut secara gratis.
Karena gratis, tak heran banyak yang berminat ikut meskipun belum tentu semuanya paham. Pemateri biasanya hanya membebani tugas ke peserta untuk men-share informasi tersebut ke orang lain. Makin banyak yang bergabung makin baik. Peserta lalu diarahkan untuk mendukung media sosial mereka hingga akhirnya bisa mencapai angka minimal untuk mendapatkan iklan. Dan dari sana, perlahan tapi pasti, pundi-pundi uang akan mengalir.
Sampai di sini, siapakah yang berjasa? Jawabannya, para desainer ataupun conten creator-nya. Mereka inilah yang melahirkan berbagai materi konten baik berupa tulisan, gambar, video, suara, maupun gabungan dari dua atau lebih materi. Berbagai konten-konten yang dibuat itu biasanya akan dimuat di platform digital, seperti YouTube, Instagram, Facebook, Tiktok, di Website dan lainnya. Mereka inilah para pahlawan digital yang belum tentu mau disebut pahlawan.
Penyedia platform digital, selain banyak dimanfaatkan untuk berjual beli, juga sangat bermanfaat dan dipakai oleh guru-guru dalam penyampaian materi pembelajaran. Pembelajaran jarak jauh memaksa guru lebih kreatif dan berinovasi membuat materi ajar. Tentu saja salah satu tujuannya agar siswa tidak bosan dan jenuh belajar daring.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id