REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Wakil Ketua MPR Dr. H. Sjarifuddin Hasan, MM, MBA mengungkapkan bahwa wacana menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen terbatas UUD 1945 masih menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam perjalanannya, isu luar biasa ini juga menuai pro dan kontra dengan berbagai argumentasi yang sama-sama kuat.
"Ada sebagian masyarakat yang menginginkan munculnya GBHN tersebut, namun ada masyarakat yang tidak menginginkannya bahkan ada yang tidak setuju dilakukan kembali amandemen UUD dengan alasan apapun karena sudah dianggap baik," katanya, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Tinjauan Dihidupkan Kembali GBHN Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Nasional Indonesia Yang Efektif Dan Berkesinambungan Berlandaskan Pancasila Dan UUD 1945' kerjasama MPR dengan Universitas Pertahanan (Unhan), di Aula Merah Putih Kampus Unhan, Kawasan IPSC Sentul, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/11).
Hadir dalam acara dengan mengikuti protokol kesehatan ketat tersebut, Rektor Unhan Laksamana Madya TNI Dr. Amarulla Octavian, mantan Rektor Unhan Letjen TNI Dr. Tri Legionosuko, mantan Menteri Pertahanan RI Prof. Purnomo Yusgiantoro serta para dosen dan mahasiswa Unhan.
Pimpinan MPR dari partai Demokrat yang biasa disapa Syarief Hasan ini melihat antusiasme rakyat terhadap wacana tersebut mesti diperhatikan secara serius. Untuk itu, MPR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang merubah dan menetapkan UUD, melakukan berbagai upaya pendekatan kepada elemen-elemen masyarakat Indonesia di berbagai daerah seperti kalangan akademisi perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi, ormas dan lainnya untuk berdiskusi dan menyerap aspirasi.
"Melakukan serap aspirasi, bertatap muka langsung kepada masyarakat sangat efektif untuk mengetahui secara tepat apa keinginan rakyat. Hal tersebut memang tidak mudah, tapi harus kita lakukan sebab Indonesia negara demokrasi dan sangat memegang prinsip musyawarah mencapai mufakat," ujarnya.
Syarief Hasan menceritakan, dari berbagai pertemuan dengan rakyat, biasanya muncul hal-hal unik dan baru terkait wacana GBHN. Diantaranya, jika GBHN dimunculkan kembali melalui amandemen, lembaga mana yang berwenang membuat dan menetapkan haluan negara itu. Kalau lembaga MPR yang berwenang, maka pelaksana haluan negara harus bertanggung jawab kepada MPR termasuk Presiden RI.
"Ini yang menarik, jika Presiden bertanggung jawab kepada MPR maka pelaksanaan Sidang Tahunan MPR mesti berubah. Sebelumnya, Presiden melaporkan kinerjanya kepada rakyat. Pasca haluan negara ditetapkan MPR, Presiden harus melaporkan kinerjanya kepada MPR . Muncul lagi pendapat, jika haluan negara ditetapkan MPR maka amandemen harus diperluas, MPR harus menjadi lembaga tertinggi negara kembali," katanya.
Semua itu, lanjut Syarief Hasan, adalah masukan-masukan dari rakyat yang akan didengar MPR, menjadi catatan untuk dijadikan bahan kajian agar kebijakan yang dikeluarkan MPR terkait haluan negara menjadi ketetapan yang disepakati serta memberi dampak positif buat negara dan bangsa Indonesia.
"Sampai saat ini serap aspirasi dengan berbagai metode terus dilaksanakan para Pimpinan MPR. Saya sendiri sering melakukan kegiatan tersebut ke berbagai kampus. Terakhir bersama akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), kali ini saya lakukan bersama civitas akademika Unhan dengan metode FGD. Saya akan lebih banyak mendengar masukan-masukan dari Unhan. Mudah-mudahan pemikiran-pemikiran yang keluar dari FGD ini akan semakin memperkaya bahan kajian di MPR," ujarnya.
Syarief Hasan juga mengajak elemen-elemen bangsa lainnya terutama akademisi-akademisi dari perguruan tinggi berpartisipasi aktif menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan Indonesia di masa depan.