Ahad 15 Nov 2020 14:57 WIB

Dari Revolusi Akhlak ke Revolusi CInta

Revolusi akhlak bisa dimulai dengan mengubah cinta buta ke cinta suci.

Akhlak mulia (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Akhlak mulia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

Di sudut-sudut Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tanggerang terpajang baliho berukuran raksasa yang berisi foto tokoh sentral Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Shihab (disingkat HRS). Sebagian dari baliho, di antaranya baliho di Petamburan Jakarta Barat, tertulis "Ayo Revolusi Akhlaq" di bawah foto HRS. Baliho-baliho ini sebentuk antusiasme umat dan para pendukung untuk menyambut kedatangan junjungannya, yaitu HRS.

Saya teringat buku tua yang berjilid kulit berwarna cokelat muda khas Arab, judulnya “al-Tsaurah al-Ruhiyah fi al-Islam” karya Syekh Abu 'Ala 'Afifi yang saya beli di pasar buku loak Uzbekiya di kota Kairo, Mesir. Judul itu kalau diartikan, "Revolusi Akhlak di dalam Islam". Saya lihat di lembar kedua tertera buku itu diterbitkan tahun 1963. Kata revolusi memang sedang seksi-seksinya di Mesir pada 1950-1960-an, pada masa Gamal Abdul Nasir. Sebagaimana di Indonesia pun pada masa penjajahan kata paling seksi adalah 'revolusi fisik'.

Pasca kolonial, awal-awal merdeka, tahun 1950-1960-an, kata revolusi di Indonesia bukan sekadar seksi, akan tetapi acuan dalam membangun dan mempertahankan kesatuan bangsa. Muncul pula istilah antirevolusioner yang disematkan kepada mereka yang tidak sejalan atau membangkang pada pemerintah yang sah. Sebab, setelah selesai mengusir penjajah, Indonesia masih belum bisa benar-benar damai lantaran bermunculan kalangan pemberontak, seperti DI/NII, Permesta, dan PRRI yang harus dihadapi dengan perlawanan fisik.

Karena kelompok pemberontak memiliki senjata, sehingga tidak bisa dihadapi secara kultural dialogis. Suka tak suka dihadapi dengan senjata. Di samping Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia dan berperang mengusir Belanda dari tanah Papua. Ini pun sebentuk revolusi fisik.

Padahal, menurut Bung Karno, pasca revolusi fisik harusnya melakukan revolusi mental yang kemudian digunakan oleh pemerintahan Ir H Joko Widodo sekarang. Pada saat revolusi mental digulirkan di zaman Bung Karno, pada saat yang sama revolusi fisik masih belum tuntas sepenuhnya.

Pada masa Orde Baru, kata revolusi seakan tertelan bumi, hilang dari peredaran. Seakan kata revolusi itu hanya milik orang-orang kiri, sehingga sebagian orang alergi dan sebagian lain ketakutan mengucapkan kata revolusi karena khawatir dituduh macam-macam —padahal sebagai sebuah istilah, revolusi bebas nilai dan milik semua orang.

Sedangkan di Mesir, sampai hari ini kata tsaurah (revolusi) lumrah dan jamak dikatakan semua orang dalam menggambarkan perubahan secara mendasar dan radikal tanpa khawatir menimbulkan tuduhan macam-macam. Hassan Hanafi, pemikir Muslim Mesir, menggunakan istilah min al-'aqidah ila al-tsaurah (dari teologi ke revolusi); Tayyib Tizini, pemikir Muslim Suriah menggunakan istiah min al-turats ila al-tsaurah (dari legasi ke revolusi); dan lainnya. Bahkan, ketika lengsernya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir disebut sebagai peristiwa al-tsaurah (revolusi). 

Kata revolusi baru muncul kembali di Indonesia pasca Orde Baru tumbang. Meski di saat gerakan massa dan mahasiswa menurunkan Soeharto masih menggunakan istilah reformasi. Baru kemudian di masa Jokowi istilah revolusi digunakan dengan lugas dalam konteks politik dan kepemerintahan —tanpa menafikan wacana revolusi di kampus, dalam forum diskusi, dan kalangan pergerakan serta aktivisme. 

Jokowi memunculkan revolusi mental yang diterjemahkan dalam Nawacinta I dan Nawacita II. Saat ini, November 2020 muncul revolusi akhlak dari kalangan FPI yang dipimpin HRS. Secara politis, apakah revolusi akhlak akan diproyeksikan sebagai kekuatan pembanding atau penyeimbang revolusi mental atau sebaliknya akan berkolaborasi, bersinergi, dan saling menguatkan?

Secara konseptual, revolusi mental sudah jelas terkonsepsikan dengan rapi dan direalisasikan dalam tahapan-tahapan kebijakan dan pembangunan bangsa. Sedangkan revolusi akhlak masih belum muncul ke permukaan seperti apa konsepsinya. Jika tidak ada rumusan konsepsinya, dikhawatirkan terjebak pada sekadar jargon politis saja. Tetapi cukup dimaklumi, sebab baru beberapa hari saja HRS tiba di Tanah Air tercinta. Kita menunggu bagaimana konsepsi revolusi akhlak yang dimaksud.

Jauh sebelumnya, tahun 1963, istilah revolusi akhlak dimunculkan oleh Syekh Abu 'Ala 'Afifi, ahli tasawuf. Apakah sama maksud dari revolusi akhlak itu antara FPI dan Syekh Abu 'Ala 'Afifi?

Kalau revolusi akhlak dimaksudkan FPI sebagai perubahan akhlak dengan mengikuti akhlak Rasulullah SAW yang ada di dalam Alquran dan hadis, yang tentu saja akan disepakati semua umat Islam, akan tetapi masih bersifat umum dan global. Ini masih perlu dinarasikan menjadi sebuah konsepsi yang dimengerti rincian dan tahapan revolusi akhlak itu akan seperti apa.  

Sedangkan revolusi akhlak menurut Syekh Abu 'Ala 'Afifi adalah transformasi diri atau perubahan diri secara mendasar melalui tahapan-tahapan yang dirumuskan para ulama sufi terdahulu melalui 3 T: takhalli, tahalli, dan tajalli. Seorang yang ingin melakukan revolusi akhlak, terlebih dahulu harus melakukan takhalli, yakni mengosongkan diri dari hal-hal yang dapat mengotori hati dan merusak jiwa.

Setelah itu, dilanjutkan dengan tahalli, yakni menghiasi diri dengan kebaikan dan keindahan. Setelah melalui tahap tahalli, kemudian melakukan tajalli, yakni mewujudkan kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan secara konkret dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Revolusi akhlak sebagai sebuah teori yang di dalamnya terdapat konsep 3 T yang menjelaskan tahapan perubahan akhlak secara gradual dan berproses. Teori ini bisa diterapkan semua orang, baik ulama, pemerintah, pengusaha, intelektual, murid, guru, buruh, rakyat biasa, laki-laki, perempuan, orangtua, remaja, anak, dan yang lain. Konsep 3 T pun jika diterapkan akan tercipta perubahan kehidupan personal, kehidupan kolektif-masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik.

Akan tetapi, menurut saya, istilah revolusi digunakan oleh FPI adalah sebuah kemajuan yang menarik. Sebab ini mengafirmasikan bahwa istilah revolusi bukan hanya milik kalangan kiri atau komunis, melainkan sebagai sebuah istilah yang bisa digunakan semua kalangan. Revolusi akhirnya menemukan momentumnya sebagai istilah yang bebas nilai, sudah bukan istilah menakutkan, dan kembali pada makna generik atau asalnya, yaitu perubahan yang cukup mendasar.

Pemerintah Jokowi mengusung revolusi mental. Pada saat yang sama HRS mengusung revolusi akhlak. Keduanya mempunyai keinginan mewujudkan perubahan melalui jalan revolusi. Sungguh sayang seribu sayang, menurut sebagian kalangan, di hari pertama kedatangan HRS, revolusi akhlak menit pertama digelar, pendukungannya parkir, duduk-duduk, dan berjalan kaki secara bergerombol di sepanjang jalan menuju bandara sehingga mengakibatkan kemacetan parah, tidak mematuhi protokol kesehatan, berkerumun, dan merusak fasum dan fasilitas bandara seperti kursi dan ada tembok rontok.

Memang itulah ekspresi cinta. Cinta suci tak akan merugikan orang lain. Cinta buta seringkali merugikan orang lain dan merusak, seperti pakai kacamata kuda, nyeruduk terus ke depan tanpa tahu kanan-kiri ada apa. Mungkin revolusi akhlak bisa dimulai dengan mengubah cinta para pendukung kepada HRS dari cinta buta ke cinta suci. Karena itu, menurut saya, diperlukan semacam 'revolusi cinta'. Cinta yes! Merusak no!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement