Oleh : Ani Nursalikah*
REPUBLIKA.CO.ID, Tantangan Muslim di Prancis kian kompleks. Jika dahulu tantangannya seputar tetangga yang tidak ramah, diskriminasi karena jilbab, atau sulit menunaikan sholat berjamaah karena tidak ada atau minimnya masjid, kini 'cobaan' umat Muslim di Prancis bertambah.
Berawal dari 1 September lalu, majalah Prancis Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun-kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW. Penerbitan itu dilakukan menjelang persidangan atas serangan 2015 di kantor mereka.
Kemudian, entah apa yang ada di pikiran Presiden Prancis Emmanuel Macron. Awal Oktober lalu, ia tiba-tiba mengumumkan rencana untuk membela nilai-nilai sekuler Prancis. Macron menyebut Islam kini berada dalam kondisi krisis di seluruh dunia dan memerlukan reformasi.
Ia pun mengatakan akan memerangi 'radikalisme Islam'. Prancis memang negara yang mengagung-agungkan sekulerisme.
Pernyataan serampangan itu mengawali serangkaian protes besar-besaran di beberapa negara hingga akhirnya muncul gerakan memboikot produk Prancis. Aktivis, tokoh terkemuka Muslim, hingga pemimpin negara ramai mengutuk pernyataan Macron. Indonesia juga menyampaikan sikap yang sama.
Semua memperingatkan pernyataan itu bisa memicu ekstremisme. Dan benar saja. Tidak lama kemudian terjadi kasus pemenggalan seorang guru yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad pada muridnya di kelas.
Macron mengecam, namun tetap membela penerbitan kartun Nabi SAW atas nama kebebasan berbicara. Kekerasan bukan jawaban. Komunitas Muslim mengutuk dan menyatakan pembunuhan bukan bagian dari Islam.
Besarnya skala protes, seruan boikot, dan kekerasan mendorong Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengeluarkan pernyataan negaranya sangat menghormati Islam. Le Drian mengatakan penghormatan tertinggi terhadap Islam merupakan prinsip pertama di Prancis.
Namun, omongan Macron kian mempersulit ruang gerak Muslim. Umat Muslim di Prancis seakan tidak diberi ruang untuk menyatakan pendapatnya.
Sudah lama Muslim di Prancis harus hidup dalam diskriminasi. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis diperkirakan mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa.
Sayangnya, jumlah yang besar tidak membuat mereka kebal dari islamofobia dan diskriminasi. Pelarangan cadar dimulai sejak 2010 saat Prancis dipimpin oleh Nicolas Sarkozy. Semenjak saat itu, Prancis melarang penggunaan kain atau apa saja yang menutupi wajah di tempat umum. Para pengguna cadar, niqab bisa didenda hingga Rp.2,5 juta.
Islamofobia sangat terasa. Salah satu contohnya, seorang anggota parlemen sayap kanan dan republik keluar dari pertemuan di parlemen hanya karena kehadiran seorang mahasiswa Muslim yang mengenakan jilbab pada September lalu. Karena tak terima, ia pun walk out dari pertemuan yang membahas pandemi Covid-19 itu.
Kembali ke soal Macron, setelah pembunuhan seorang guru, masjid di kota Bordeaux Prancis dan komune Beziers dalam perlindungan penuh personel kepolisian menyusul beberapa ancaman kekerasan yang dilancarkan ke masjid.
Prancis kemudian membubarkan organisasi Muslim, seperti Collective against Islamophobia in France (CCIF) dan Barakacity. Lalu pada 18 Oktober, dua wanita Muslim asal Aljazair ditikam di dekat Menara Eiffel di Paris.
Kerasnya arus diskriminasi membuat Muslim Prancis mempertanyakan tempat mereka di negaranya sendiri. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menyebut Muslim Prancis sebagai musuh dari dalam.
Muslim di Prancis mengaku diliputi rasa ketakutan dan kesedihan. Berbagai peristiwa yang terjadi membuat semua Muslim akan dikaitkan dengan ekstremisme dan separatisme.
Sistem sekularisme yang awalnya ditujukan untuk menjamin kebebasan beragama, dalam beberapa tahun terakhir dijadikan tameng untuk membatasi bahkan mengubah nilai-nilai keagamaan. Bahkan dalam beberapa komunitas Islam, pembicaraan tentang meninggalkan Prancis mulai terdengar.
Rim-Sarah Alouane, kandidat doktor di Universitas Toulouse Capitole, melakukan penelitian tentang kebebasan beragama dan kebebasan sipil. Dia menuliskan sejak 1990-an, laïcité, konsep masyarakat sekuler Prancis, telah dipersenjatai dan disalahgunakan sebagai alat politik untuk membatasi visibilitas simbol agama, terutama bagi Muslim.
Di sisi lain, Muslim di Amerika Serikat kini sedang menikmati momentum mereka. Diskriminasi dalam bentuk kebijakan larangan perjalanan Muslim dari Presiden AS Donald Trump memacu Muslim mengubahnya.
Mereka menerjunkan diri dalam politik. Tujuannya demi mengakomodasi kebutuhan umat Muslim. Mereka juga ingin memperkenalkan wajah Islam yang sesungguhnya pada masyarakat AS.
Separuh kandidat Muslim Amerika Serikat yang mencalonkan diri untuk jabatan publik dalam pemilihan umum tahun ini memenangkan kompetisi tersebut. Di beberapa negara bagian, ada yang mencetak sejarah karena perdana memiliki perwakilan Muslim.
Trio kelompok advokasi Muslim, yakni Council on American-Islamic Relations (CAIR), Jetpac, dan MPower Change mengatakan, 110 Muslim-Amerika mencalonkan diri untuk berbagai posisi di pemilihan kali ini. Sebanyak 57 muncul sebagai pemenang setelah pemilihan umum 3 November lalu.
Mungkin Muslim di Prancis bisa mencontoh apa yang terjadi di AS. Meningkatkan representasi politik Muslim adalah bagian penting dalam usaha mengalahkan kekerasan islamofobia dan diskriminasi.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id