Rabu 18 Nov 2020 11:05 WIB

Mengapa Zoom Picu Peningkatan Operasi Plastik?

Fenomena dismorfia Zoom merebak sejak orang bekerja dari rumah (WFH).

Aplikasi video konferensi Zoom. Banyaknya waktu yang dihabiskan dalam menggunakan Zoom dapat memicu respons komparatif yang kritis terhadap diri sendiri.
Foto: EPA
Aplikasi video konferensi Zoom. Banyaknya waktu yang dihabiskan dalam menggunakan Zoom dapat memicu respons komparatif yang kritis terhadap diri sendiri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyaknya orang-orang yang bekerja dari rumah (WFH) membuat platform konferensi virtual seperti Zoom semakin marak digunakan. Tak hanya platform konferensi virtual, operasi plastik juga tampak semakin diminati di masa pandemi Covid-19.

Studi terbaru dalam jurnal Facial Plastic Surgery and Aesthetic Medicine mengungkapkan bahwa kedua hal ini ternyata berkaitan. Banyak orang yang merasa tidak suka dengan penampilan mereka di Zoom sehingga mendorong mereka untuk melakukan operasi plastik.

Baca Juga

Tim peneliti mengatakan banyaknya waktu yang dihabiskan dalam menggunakan Zoom dapat memicu respons komparatif yang kritis terhadap diri sendiri. Respons inilah yang kemudian mendorong sebagian orang untuk mulai berpikir untuk melakukan operasi plastik atau terapi lain.

"Sesuatu yang mungkin tidak mereka pikirkan sebelum dihadapkan pada layar video, sebuah fenomena baru bernama 'dismorfia Zoom'," ujar salah satu peneliti Dr Arianne Shadi Kourosh, seperti dilansir Health 24.

Tim peneliti juga menemukan bahwa kerontokan rambut dapat menjadi alasan lain di balik meningkatnya operasi plastik. Kejadian kerontokan rambut dan juga jerawat di masa pandemi kerap dikaitkan dengan kecemasan dan depresi. Seperti diketahui, kecemasan dan depresi juga tampak meningkat di masa lockdown dan karantina mandiri.

Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti Dr Benjamin Marcus yang tidak terlibat dalam penelitian. Dr Marcus mengatakan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan radikal terhadap frekuensi di mana orang-orang berhadapan dengan tampilan mereka sendiri.

"Pergeseran ke bekerja, belajar, dan bahkan bersosialisasi secara daring turut meningkatkan waktu kita untuk mengobservasi diri kita sendiri," jelas Dr Marcus.

Body dysmorphia atau gangguan dismorfik tubuh merupakan sebuah gangguan kesehatan mental yang memicu seseorang untuk fokus berlebih terhadap kekurangan yang dirasakan pada penampilan. Meski kekurangan yang ada sangat kecil atau bahkan hanya imajinasi, orang-orang dengan masalah ini akan menghabiskan waktu yang lama untuk berusaha memperbaiki apa yang mereka anggap kekurangan tersebut.

Fenomena dismorfia yang berkaitan dengan penggunaan gawai dan internet ternyata bukan pertama kali terjadi. Selain dismorfia Zoom, sebelumnya juga pernah terjadi fenomena dismorfia Snapchat.

Kala itu, sebagian pengguna Snapchat menjadi terlalu sadar akan penampilan mereka. Sebuah studi mengungkapkan bahwa dokter spesialis bedah plastik banyak menerima permintaan untuk mengubah penampilan pasien sesuai dengan penampilan versi mereka sendiri yang sudah mendapatkan filter dari platform media sosial.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa pasien-pasien ini pada dasarnya tidak membutuhkan operasi plastik. Tim peneliti menilai pasien-pasien ini sebenarnya lebih membutuhkan intervensi kesehatan mental dan psikologis.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement