REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Izin penggunaan darurat memang telah diberikan pada terapi plasma konvalesen (CPT), meski masih dianggap berisiko tinggi bagi non-medis. Di lain sisi, dokter dan para ahli di Dewan Riset Medis India (ICMR) juga memperingatkan agar tidak sembarangan melakukan terapi plasma pemulihan untuk mengobati Covid-19.
Pasalnya, Rabu kemarin, ICMR merilis laporan uji coba terkontrol acak multisenter fase II label terbuka (uji PLACID) yang dilakukan di 39 rumah sakit umum dan swasta tentang penggunaan terapi plasma konvalesen dalam pengelolaan kasus dengan infeksi sedang. Hasilnya, laporan ICMR menampik anggapan bahwa terapi itu dapat menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 yang kritis.
ICMR mencermati, pemberian plasma konvalesen tidak mengarah pada penurunan perkembangan menjadi Covid-19 parah atau semua penyebab kematian pada kelompok yang menerima terapi plasma konvalesen dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerimanya sama sekali.
Hal serupa juga ditekankan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Bahkan, FDA AS memperingatkan agar tidak mengambil plasma dari beberapa kelompok orang. FDA juga memperpanjang diskresi penerapan izin penggunaan darurat plasma penyembuhan hingga akhir Februari.
"Kita tidak boleh mengumpulkan plasma pemulihan Covid-19 dari individu yang telah menerima vaksin Covid-19 investigasi karena ketidakpastian," kata Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, dikutip Times Now News, Jumat (20/11).
CDC juga memperingatkan agar tidak menggunakan darah dari orang-orang yang telah menerima suntikan vaksin eksperimental saat mengambil plasma penyembuhan untuk merawat pasien Covid-19. Selain itu, ada temuan juga jika plasma darah orang yang menjalani uji coba vaksin tidak dapat diprediksi sama dengan yang pulih dari penyakit Covid-19 yang sebenarnya.
Langkah itu, diambil mengingat ada beberapa pemahaman mengenai bagaimana vaksin bekerja, di antaranya adalah:
1. Vaksin membantu mengembangkan kekebalan dengan meniru infeksi.
2. Jenis infeksi ini disebabkan oleh galur virus dilemahkan dan hampir tidak pernah menyebabkan penyakit.
3. Namun, itu memicu produksi limfosit-T dan antibodi oleh sistem kekebalan tubuh.
4. Infeksi tiruan setelah vaksinasi terkadang bisa menimbulkan gejala ringan, seperti demam.
5. Gejala kecil ini normal dan dianggap sebagai bagian dari proses saat tubuh membangun kekebalan.
6. Setelah infeksi tiruan dihajar, tubuh memiliki pasokan "memori" limfosit-T serta limfosit-B.
7. Limfosit ini akan mengingat bagaimana cara melawan penyakit itu di masa depan.
8. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa pekan bagi tubuh untuk memproduksi limfosit-T dan limfosit-B setelah vaksinasi.
9. Oleh karena itu, ada kemungkinan seseorang yang terinfeksi suatu penyakit sebelum atau sesudah vaksinasi dapat mengalami gejala dan terkena suatu penyakit.
10. Itu karena vaksin belum punya cukup waktu untuk memberikan perlindungan.