Jumat 20 Nov 2020 18:44 WIB

Apa Beda Slow Fashion-Fast Fashion?

Chitra Subyakto mengusung konsep slow fashion untuk jenama Sejauh Mata Memandang.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Reiny Dwinanda
Gerai slow fashion Sejauh Mata Memandang milik Chitra Subyakto.
Foto: Instagram @sejauhmatamemandang
Gerai slow fashion Sejauh Mata Memandang milik Chitra Subyakto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakaian yang berkelanjutan (sustainable fashion) saat ini tengah ramai digaungkan mengingat fashion adalah sumber limbah terbesar kedua di dunia. Salah satu cara untuk mengurangi limbahnya adalah menerapkan slow fashion. Lalu, apa persisnya slow fashion itu?

"Mulai dari kata "slow" itu, artinya "pelan". Jadi slow fashion itu sebenarnya tidak memprioritaskan kecepatan produksi,” ungkap pemilik jenama slow fashion Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, saat berdiskusi dengan aktris Dian Sastrowardoyo secara virtual, disimak di Jakarta, Jumat (20/11).

Baca Juga

Menurut Chitra, prioritas fesyen lambat adalah kualitas ketimbang kuantitas. Ini tentu berkebalikan dengan fast fashionyang mengutamakan kuantitas daripada kualitas dari produk fesyen itu sendiri.

Para produsen yang menerapkan fesyen lambat ini juga mengutamakan produk yang awet dan lama masa waktunya. Artinya, bahan yang digunakan pun harus bahan yang lebih berkualitas agar lebih awet dipakai.

“Jadi lebih awet, tidak cepat rusak, dan produksinya dipikirkan, pekerjanya juga dipikirkan, kesehatannya. Dan, memerhatikan lingkungan, jadi kita berusaha untuk lebih tidak merusak Bumi kita ini,” jelas Chitra.

Sementara itu, para produsen fast fashion atau fesyen cepat yang mengutamakan kuantitas daripada kualitas, menurut Chitra, memiliki kewajiban mengisi tokonya di seluruh dunia. Artinya, pemilihan bahan pun tak dimungkiri harus dipilih yang lebih murah. Maka tak heran kualitas bahan tersebut pun lebih tak tahan lama, seperti mudah sobek atau mudah melar.

Selain itu, para produsen fesyen cepat biasanya selalu bergerak cepat karena mengejar tren yang sedang berkembang saat itu juga. Jangka waktu pergantian tren, menurut Chitra, biasanya berkisar tiga bulan. Kadang, ada juga dua tren dalam satu pekan.

“Karena waktunya singkat, jadi pekerjanya juga harus dicari yang bayarannya murah. Itu biasanya dari negara-negara ketiga, termasuk Indonesia,” ungkap Chitra.

Menurut Chitra, biasanya fesyen cepat menggunakan bahan kain berupa polyester yang memiliki campuran plastik. Sementara, plastik merupakan bahan yang sangat sulit untuk diuraikan sehingga tak ramah untuk lingkungan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement