REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar mengatakan, politik identitas muncul dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Alat politik seperti etnis, suku, budaya, atau agama masih digunakan peserta pilkada untuk memenangkan pemilihan.
"Kalau kita dari Jakarta misalnya, kita melihat kok sepertinya baik-baik saja, tapi kalau kita mengamati media sosial setempat maka itu kita bisa melihat jelas memang ada politik identitas itu muncul," ujar Fritz dalam webinar Pilkada dan Ancaman Politik Identitas, Selasa (24/11).
Menurut dia, politik identitas terlihat jelas dalam aktivitas di media sosial melalui unggahan gambar atau video yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada. Sebagian konten ada yang hanya menyerempet ke arah politik identitas, tetapi banyak pula yang tegas menyatakan jangan memilih calon tertentu karena latar belakang agama atau suku.
"Secara tegas mengatakan tidak memilih a karena dia bukan orang lokal, tidak memilih b karena dia pendatang, yang itu adalah bagian, memang terjadi di proses pilkada," kata Fritz.
Dia mengingatkan semua pihak adanya ketentuan larangan kampanye yang diatur Undang-Undang tentang Pilkada. Kegiatan kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah, dan/atau partai politik, serta larangan melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Fritz menegaskan, Bawaslu juga mengawasi konten kampanye di media sosial yang berpotensi terjadinya hoaks atau berita palsu disinformasi, maupun misinformasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada. Hal ini penting untuk ditegakkan karena ada kelompok masyarakat yang menerima informasi begitu saja tanpa mengecek kebenarannya.
"Di mana ada kelompok masyarakat yang susah untuk melihat fakta tetapi lebih percaya dengan apa yang dia lihat dan tidak berusaha melakukan cek kembali dengan gambar, video, ataupun berita-beria yang mereka terima," kata Fritz.
Fritz mengatakan, Bawaslu sudah menindak pelanggaran pilkada karena memenuhi unsur penghinaan seperti yang diatur Pasal 69 UU Pilkada, beberapa kasus bahkan sudah diputus pengadilan. Pelanggaran juga bisa ditindak dengan aturan lain seperti UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Jadi memang kalau kita melihat unsur menghina itu kan menghina salah satu pasangan calon. Itu sudah ada putusan pengadilannya," tutur dia.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, saat ini, hegemoni politik identitas menjadi strategi pemenangan. Narasi hegemoni dengan sentimental emosional berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang memecah belah masyarakat.
"Pakai politik pokoknya, pokoknya apapun yang terjadi yang penting satu agama, satu suku, satu ras, satu golongan," kata Titi.
Dengan demikian, politik identitas yang berkembang menyebabkan pilkada minim substansi tanpa tawaran program yang berbasis gagasan. Politik identitas juga bisa memecah belah masyarakat dan mengakibatkan ekses jangka panjang serta mendistorsi fungsi kontrol publik.