REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Entika Fani Prastikawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang & Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Semarang
Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan akan menghapus Ujian Nasional (UN), kemudian mengumumkan adanya Asesmen Nasional (AN), sebagian masyarakat langsung mengambil kesimpulan AN adalah pengganti UN. Anggaran tersebut kian menguat saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan akan segera menerapkan AN tahun depan.
Alasan Kemendikbud menghapus UN memang bisa dimengerti. Sebagaimana diketahui bersama, selama ini alat ukur untuk mengetahui hasil pembelajaran siswa dilakukan dengan UN. Hanya, praktiknya UN kerap dianggap tidak memberikan gambaran utuh terkait proses pembelajaran siswa. 'Yang penting lulus UN' seolah menjadi tujuan akhir proses pendidikan, bahkan kerap menjadi momok yang memunculkan beban psikologis.
Dengan UN, kemampuan literasi, numerasi, dan sains peserta didik di Indonesia juga kian memprihatinkan. Komisi Nasional Indonesia untuk The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pernah menyebut UN membuat para siswa hanya fokus terhadap mata pelajaran yang diujikan, sehingga memunculkan rasa ketidakpedulian terhadap mata pelajaran lain.
Kemudian Skor Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diselenggarakan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) masih di bawah rata-rata organisasi tersebut. Hasil PISA 2018 yang dirilis oleh OECD di Paris, Perancis, Selasa, menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata yakni 371, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 487.
Adapun untuk skor rata-rata matematika yakni 379, sedangkan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains skor rata-rata siswa Indonesia yakni 389, sedangkan skor rata-rata OECD yakni 489.
Maka itu, kemunculan AN setelah dihapuskannya UN, bisa saja dianggap sebagai angin segar. Namun, apakah penerapan AN perlu secepat itu?
Menurut rencana Kemendkbud, AN akan diterapkan kurang dari setahun lagi, yakni pada Agustus 2021 untuk kelas 5 Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sedangkan untuk kelas 11 Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) dilaksanakan pada pekan pertama Maret 2021, dan Kelas 11 SMK pada pekan kedua Maret 2021.
Namun seberapa besarkah urgensi penerapan AN tersebut? Untuk menjawabnya, ada beberapa hal yang mesti dicermati terlebih dahulu. Merujuk pada program Kemendikbud, AN memang merupakan bagian dari episode pertama Program Merdeka Belajar yang kerap digaungkan oleh Mas Menteri, demikian Mendikbud Nadiem Makarim kerap disaapa. Konon, AN disiapkan agar siswa, guru, dan orang tua tidak lagi terbebani dengan UN.
Asesmen Nasional terdiri dari tiga bagian yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survey Karakter dan Survey Lingkungan Belajar. Bila dilihat dari penjabaran Kemendikbud, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang merupakan satu-satunya 'asesmen' disebut bisa mengukur literasi membaca dan numerasi sebagai hasil belajar kognitif. Yang mengikuti asesmen adalah murid.
Sedangkan, Survey karakter dilakukan untuk mengukur sikap, kebiasaan, nilai nilai (values) sebagai hasil belajar non kognitif. Survey ini diikuti oleh murid dan guru. Sementara, Survey lingkungan belajar menjadi alat untuk mengukur kualitas pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran. Survey lingkungan belajar ini diikuti kepala satuan pendidikan.
Merujuk pada penjabaran tersebut, keberadaan AKM yang diikuti oleh murid seolah memang menjadi pengganti UN. Namun faktanya, jelas terdapat perbedaan mendasar antara UN dan AKM. UN sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, selama ini digunakan menjadi alat pengukur kompetensi lulusan, atau bisa dikatakan hasil kognitif. AKM dianggap mengukur proses siswa mencerna hasil pembelajaran, secara literasi maupun numerasi.
Asesmen Nasional sendiri, secara teknis akan dilaksanakan menggunakan komputer dan secara daring. Berdasarkan penjelasan Kemendikbud, murid mengerjakan pada sesi dengan jadwal yang ditentukan dan dengan diawasi. Sedangkan guru dan kepala satuan pendidikan mengerjakan survei secara mandiri dengan periode waktu yang cukup panjang.
Untuk jenjang SD/MI, di hari pertama Asesmen Nasional dilakukan tes literasi 75 menit dan survey karakter 20 menit. Hari kedua dilakukan tes numerasi 75 menit dan Survey Lingkungan Belajar 20 menit.
Untuk jenjang SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, di hari pertama dilakukan tes literasi 90 menit dan survey karakter 30 menit. Hari kedua, tes numerasi 90 menit dan survey lingkungan belajar 30 menit.
Permasalahannya, meskipun AN sudah menjadi kebijakan resmi Kemdikbud, faktanya masih banyak kalangan guru, siswa, dan orang tua belum memahami format dan esensi dari AN. Menetapkan pelaksanaan Asesmen Nasional pada pertengahan tahun depan kian memberikan kesan buru-buru dan memunculkan berbagai pertanyaan. Mengapa?