REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kolaborasi yang baik antara pemerintah, akademisi dan sektor swasta diharapkan mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses pembangunan saat ini dan masa datang.
"Seringkali pemerintah dan masyarakat tidak berada dalam saluran dan frekuensi yang sama dalam berkomunikasi. Sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dimaknai berbeda oleh masyarakat," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam kesempatan menjadi narasumber secara daring pada workshop kepemimpinan di Lemhanas RI bertema Tantangan Kompleks Bangsa menuju Indonesia Emas 2045, Kamis (26/11).
Karena itu, jelas Lestari, perlu strategi komunikasi yang tepat antara pemerintah dan masyarakat, dengan didasari data yang akurat dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah yang ada.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, seringkali dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah, para pemangku kepentingan hanya berdasarkan pengalaman masa lalunya saja.
Padahal, jelas Rerie, masalah yang sama belum tentu memiliki latar belakang penyebab yang sama di satu daerah. Karena itu, tambah Legislator Partai NasDem itu, perlu pola kajian secara khusus untuk memahami penyebab masalah di satu daerah, agar tidak menghasilkan kesimpulan yang salah.
Selain itu, tambahnya, adanya gap pengetahuan antara masyarakat dan pemerintah juga bisa menjadi kendala dalam menjalankan sejumlah program dalam pembangunan."Sudut pandang yang berbeda seringkali menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula," ujarnya.
Kemampuan melihat perbedaan sudut pandang, jelas Rerie, membantu kita untuk menemukan bentuk penyelesaian masalah sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.
Metode manajemen perubahan Teori U karya Otto Scharmer, yang intinya adalah upaya untuk Observe, Retreat – Reflect serta Act dalam mengkaji masalah, menurut Rerie, merupakan tools yang sangat powerfull untuk diimplementasikan dalam sejumlah proses pembangunan.
Penerapan metode manajemen Teori U, tambahnya, memerlukan keinginan, hati dan pikiran terbuka setiap anak bangsa dalam menjalankannya.
Tantangannya sekarang, tegas Rerie, adalah bagaimana teori tersebut bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk mewujudkan tujuan Indonesia Emas 2045, agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain dan dapat menyelesaikan masalah mendasar di Tanah Air, seperti isu korupsi dan kemiskinan.