Oleh : Gita Amanda*
REPUBLIKA.CO.ID, Sudah sejak beberapa waktu terakhir, pembahasan mengenai sekolah tatap muka ramai diperbincangkan. Terlebih setelah Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengumumkan, awal tahun 2021 nanti, sekolah-sekolah bisa mulai kembali dibuka untuk kegiatan belajar secara luar jaringan (luring) alias tatap muka.
Pro dan kontra terkait keputusan tersebut terus bergulir. Tentu yang paling ditakutkan adalah bertambahnya kasus positif Covid-19 dengan dibukanya kembali sekolah ini.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga kini belum merekomendasikan pembelajaran tatap muka atau langsung bagi siswa, mengingat angka positif Covid-19 kian hari terus bertambah. Menurutnya akan ada banyak hal yang harus menjadi pertimbangan jika sekolah kembali dibuka, mulai dari zona risiko hingga transportasi siswa dari dan menuju sekolah.
Terlebih hingga November 2020 ini, tercatat angka kasus positif Covid-19 pada anak di Indonesia mencapai 9,7 persen dari total penderita. Angka itu bukan angka yang kecil. Menurut IDAI Pembelajaran Jarak Jauh masih merupakan pilihan paling baik demi mencegah penambahan kasus penularan Covid-19.
Apa yang disampaikan IDAI ini tentu berkaca juga dari sejumlah negara yang memutuskan membuka sekolah tapi kemudian terjadi penambahan kasus dan akhirnya menutup kembali sekolah. Seperti baru-baru ini yang terjadi di Hong Kong dan New York, kedua negara tersebut akhirnya kembali menutup sekolah akibat penambahan kasus Covid-19 akibat belajar langsung.
Sementara IDAI menentang keras pembukaan sekolah, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyambut baik kebijakan tersebut. Tapi FSGI meminta pemerintah pusat untuk tetap terlibat dalam mempersiapkan dan memantau kegiatan pembukaan sekolah di daerah. FSGI meminta adanya sanksi jika ada pelanggaran dan ada Satgas khusus yang memantau kegiatan sekolah tatap muka ini.
Mendikbud memang memberikan banyak syarat yang harus dipenuhi jika sekolah ingin kembali melakukan pembelajaran tatap muka. Menurut Nadiem, sekolah tak bisa menggelar kegiatan belajar secara biasa, salah satu syaratnya setiap kelas hanya boleh diisi 50 persen dari kapasitas. Protokol kesehatan pun wajib diterapkan secara ketat, seperti penggunaan masker. Tak ada kegiatan lain selain belajar di kelas. Tak ada ekskul tak ada olah raga atau aktivitas luar sekolah lain.
Meski jadi solusi belajar di era pandemi, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah berlangsung sejak awal pandemi ini juga menimbulkan banyak perkara. Tak sedikit siswa yang mengalami depresi akibat beban PJJ semasa pandemi. Apalagi kegiatan belajar model PJJ ini, sudah berlangsung lebih dari delapan bulan lamanya.
Kasus siswa yang nekat bunuh diri akibat depresi menjalankan PJJ jadi catatan kelam bagi Kemendikbud. Belum lagi bertambahnya kasus kekerasan pada anak akibat orang tua stres saat mendampingi anak belajar di rumah. Jangan lupa juga siswa-siswa di pelosok yang tak bisa mengakses dengan baik pembelajaran daring.
Di sisi guru pun tak mudah. Guru kini hampir seharian penuh "bekerja". Mulai dari menyiapkan materi untuk mengajar daring, memberikan tugas, memeriksanya hingga membuat laporan. Belum lagi jika ada anak atau orang tua yang bertanya perihal ini itu terkait materi pembelajaran maupun tugas. Guru harus mau melayani sepanjang hari.
Jadi, wacana sekolah tatap muka ini benar adanya bagai pisau bermata dua. Jika PJJ tetap berlangsung akan membebani banyak pihak, murid, guru hingga orang tua. Tapi jika sekolah digelar secara tatap muka, penambahan kasus positif Covid-19 menjadi ancaman serius.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id