Oleh : Nuraini*
REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Amerika Serikat segera berganti. Joe Biden hampir pasti akan menghuni Gedung Putih, menggantikan rival presiden pejawat Donald Trump. Setelah dilantik pada 20 Januari 2021 mendatang, dunia menanti langkah Joe Biden, terutama dalam kebijakan luar negeri.
Kilas balik kebijakan luar negeri AS selama pemerintahan Donald Trump bisa disebut penuh kejutan. Dengan mengusung slogan "America First", Donald Trump membawa pendekatan proteksionisme dan menghindari kerja sama multilateral. Donald Trump menarik AS dari berbagai kerja sama multilateral seperti perjanjian perdagangan Trans-Pacific Partnership, Dewan Hak Asasi Manusia PBB, dan kesepakatan iklim Paris 2015.
Konfrontasi menjadi gaya khas Donald Trump dalam menghadapi negara-negara yang dianggapnya sebagai "pesaing" dan "musuh" AS. Perang dagang mengguncang ekonomi dunia saat AS memberlakukan tarif tinggi untuk produk-produk impor China mulai Januari 2018. Sejak itu, China membalas dengan menaikkan tarif produk AS. Pada September tahun ini, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan AS melanggar aturan perdagangan global dalam perang dagang dengan China tersebut.
Donald Trump juga mengambil langkah keras terhadap Iran dengan menarik AS dari perjanjian nuklir 2015, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang sebelumnya disepakati bersama negara kekuatan dunia. Dia menilai JCPOA membuat Iran mengembangkan program nuklir. Hubungan dengan Iran kian memanas setelah AS memberlakukan kembali sanksi ekonomi. Bahkan, jelang berakhirnya masa jabatan, Donald Trump dilaporkan masih berusaha untuk menyerang Iran dengan menyasar fasilitas nuklir.
Konstelasi politik di Timur Tengah mengalami pergeseran signifikan saat Donald Trump memimpin AS. Dukungan Trump untuk Israel memuncak yang turut menggeser haluan kebijakan negara-negara teluk terhadap Palestina. Bermula dari pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump semakin membuat rakyat Palestina jauh dari harapan merdeka. Pengakuan itu dilanjutkan dengan memindah Kedubes AS pada 2018 dari Tel Aviv ke Yerusalem yang digadang-gadang menjadi ibu kota Palestina di masa depan. Langkah pemindahan Kedubes itu diikuti negara lain seperti Guatemala, Paraguay, dan Moldova.
Berkat lobi Donald Trump, pendekatan negara-negara Arab terhadap Israel bergeser. Uni Emirat Arab bersedia memulihkan hubungan dengan Israel, yang langsung diikuti oleh Bahrain. Dua negara Arab itu resmi menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel tahun ini dengan penandatanganan kesepakatan kerja sama, disaksikan oleh Donald Trump di Gedung Putih.
Perubahan besar hubungan negara Arab dengan Israel itu semakin meminggirkan solusi dua negara yang selama ini diangkat sebagai rencana perdamaian Israel-Palestina. Tak cukup itu, Donald Trump menarik dukungan dana AS di lembaga PBB yang mengurus pengungsi Palestina, UNWRA. Akibatnya, lembaga itu harus berjuang keras untuk melanjutkan operasional dari hari ke hari yang berdampak pada pengungsi Palestina.
Kejutan kebijakan luar negeri AS tersebut, bisa jadi terhenti seiring hengkangnya Donald Trump dari Gedung Putih meski dengan segala upaya telah dilakukan untuk mengubah hasil perolehan suara elektoral di Pilpres. Joe Biden mengantongi perolehan suara elektoral tertinggi yang akan segera memberinya kemenangan resmi dalam Pilpres AS. Selama masa kampanye Pilpres, Biden telah mengungkap sejumlah kebijakan yang akan dia ambil bila terpilih menjadi presiden. Kebijakan itu adalah mengembalikan AS pada perjanjian multilateral, yang salah satunya adalah perjanjian iklim Paris. Munculnya nama John Kerry, mantan menteri luar negeri, sebagai kandidat utusan khusus untuk isu iklim memperkuat potensi kembalinya AS dalam kesepakatan Paris.
Pendekatan kebijakan Joe Biden, diprediksi tidak jauh berbeda dari mantan presiden Barack Obama, pasangannya selama dua periode jabatan. Meski menjanjikan ada perubahan, kebijakan Biden terhadap Iran belum memiliki kejelasan. Tetapi, Iran berharap AS dapat mencabut sanksi ekonomi atas negaranya saat Biden menjabat. Sementara dengan China, Biden menunjukkan perhatiannya terhadap isu pemenuhan hak asasi manusia terutama pada nasib minoritas termasuk Muslim Uighur di Xinjiang. Ketertarikan itu berbeda dari Trump yang mengesampingkan isu HAM untuk berkonfrontasi dalam perdagangan dengan China.
Jika nanti Joe Biden telah resmi dilantik sebagai presiden AS, dunia menunggu realisasi kebijakannya yang diprediksi tanpa kejutan. Namun, bisa saja dunia terlena dengan prediksi mereka sendiri dan terkejut saat Joe Biden mengambil langkah di luar ekspektasi. Warga dunia sudah kerap menyaksikan pemimpin negara yang saat sudah dilantik, kebijakannya bertolak belakang dengan janji-janji selama kampanye. Bahkan ketika harapan banyak pemilih sangat besar untuk perubahan signifikan dalam kebijakan negara yang berpihak pada yang papa, harus hancur seketika karena pemimpinnya segera lupa dan lebih memilih balas jasa.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id