REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Kerja wartawan banyak berhubungan dengan humas (hubungan masyarakat) atau PR (public relations). Hubungan wartawan dengan humas itu simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan. Humas butuh publikasi, wartawan butuh berita.
Dari humas wartawan banyak mendapai informasi yang bisa ditulis. Dalam bentuk pernyataan langsung atau pers rilis. Tapi tak semua informasi atau rilis dari humas bisa diberitakan.
Terkadang informasi yang diberikan hanya sebagai background saja. Seringkali informasi harus dilengkapi dengan sumber lain.
Kedua profesi ini bekerja dengan prinsip yang berbeda. Prinsip orang humas, katakan yang baik-baik atau diam. Sedangkan wartawan, baik atau buruk tetap beritakan.
Tak ada yang salah dengan kedua prinsip itu. Masing-masing berjalan sesuai dengan profesinya. Namun begitu tetap saja ada orang yang nakal di kedua profesi itu. Ada wartawan nakal, ada humas nakal. Aku termasuk yang mana? Sepertinya aku termasuk wartawan yang agak iseng.
Saat ngepos di Bekasi, Jawa Barat tahun 1997, bagian humas Kabupaten Bekasi biasa memberikan amplop pada wartawan jika ada acara. Humas juga menganggarkan uang bulanan buat wartawan. Jumlahnya tergantung berita yang dibuat oleh wartawan yang terdaftar di humas.
Republika, tak membolehkan wartawannya menerima uang amplop. Jika kami terpaksa menerimanya, harus diserahkan ke sekretariat redaksi untuk dikembalikan, atau langsung disumbangkan ke Dompet Dhuafa Republika.
“Jatah bulanan” ku di humas, tak pernah diambil. Begitupun amplop jika ada acara. Tak tahu itu dialihkan ke mana. Itu urusan mereka, bukan urusanku.
Tapi aku melihat orang-orang humas itu ada yang agak nakal juga. Aku sering mendapat cerita dari teman-teman wartawan yang ngepos di Pemda Kabupaten Bekasi bahwa humas kadang membuat anggaran fiktif untuk wartawan.
Suatu hari aku melihat seorang staf humas sedang mengetik laporan pengeluaran untuk wartawan. Dia merekap pengeluaran oleh humas selama tiga bulan. Itu tentu perintah atasannya. Aku yang mengetik di sebelahnya sempat membaca laporan itu sepintas.
Saat dia pergi keluar sebentar, aku ajak Firman wartawan Mitra Desa sebuah Tabloid Grup Pikiran Rakyat mengintip laporan itu. Bang Firman, begitu dia biasa dipanggil, geleng-geleng kepala membaca laporan itu.
“Ndak benar ini,” gerutunya. Menurutnya banyak kegiatan untuk wartawan yang ditulis dalam laporan itu sebenarnya tidak ada.