REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H., Akademisi dan Praktisi Medikolegal
Sehubungan dengan adanya kehendak pihak-pihak tertentu yang meminta pemeriksaan swab (ulang) kepada Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS), Penulis selaku Akademisi dan Praktisi Medikolegal terpanggil untuk menulis Persetujuan Tindakan dan Rahasia Kedokteran untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dan masyarakat luas.
Terkait persetujuan tindakan kedokteran. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan, demikian bunyi Pasal 45 ayat (1) UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan dimuat ulang dalam Pasal 2 ayat (1) No.290/2008 Permenkes tentang Persetujuan
Tindakan.
Persetujuan Tindakan Kedokteran terbilang “sakral”, karena merupakan bagian pengakuan atas otonomi pasien (patient autonomy) terhadap tubuhnya sendiri (taking ownership of their own body) yang harus dihargai dan dihormati, salah satu wujud dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dahulu di beberapa negara-negara Eropa diperbolehkan para tenaga medis atas perintah penguasa untuk melakukan force feeding terhadap demonstran yang melakukan mogok makan yang kondisinya telah mulai melemah parah, sebagai duty of the state to protect life.
Dalam keputusan yang lebih baru, European Court of Human Rights (ECHR) telah menyatakan orang yang kompeten dapat menolak intervensi medis apa pun konsekuensinya, termasuk kematian. Dengan demikian force feeding tanpa informed consent atau bahkan mengabaikan refusal akan dinilai sebagai suatu bentuk torture atau degrading treatment yang melanggar ketentuan Art.3 ECHR yang berbunyi No one shall be subjected to torture or to inhuman or degrading treatment or punishment. Redaksi yang mirip dapat kita baca pada Pasal 28G Paragraf Kedua UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 tentang Kesehatan lebih lanjut diatur setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 ini berlaku bagi pasien penderita apa pun, bahkan terhadap pasien yang diduga mengidap virus HIV tetap diperintahkan pembuat peraturan perundang-undangan untuk dimintakan persetujuan terlebih dahulu jika hendak dilakukan tes HIV, tidak boleh dilakukan secara diam-diam.
Kiranya sudah jelas pemeriksaan atau swab terhadap seseorang yang diduga mengidap virus Covid-19 pun haruslah diperlakukan sama dengan pasien-pasien lainnya, tidak boleh mengabaikan otonomi pasien yang merupakan HAM-nya.