REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyampaikan, data penanganan pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menunjukkan, terdapat 104 dari 3.814 laporan/temuan merupakan tindak pidana pemilihan dan diteruskan ke tingkat penyelidikan. Per 3 Desember 2020, ada 21 putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana pemilihan ini.
"Total yang sudah sampai pada putusan pengadilan berjumlah 21 putusan dari 104 tindak pidana pemilihan yang sudah diteruskan ke proses penyidikan," ujar Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo dalam rapat koordinasi Sentra Gakkumdu, Kamis (3/12).
Ia memerinci, kasus yang mendapatkan putusan pengadilan ini didominasi pelanggaran Pasal 188 juncto Pasal 71 ayat 1. Kepala desa atau pejabat aparatur sipil negara (ASN) melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon (paslon).
Kasus tersebut terjadi di Sumbawa Barat dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB); Poso dan Donggala, Sulawesi Tengah; Selayar, Sulawesi Selatan; Konawe, Sulawesi Utara; pelalawan, Riau; Sawahlunto dan Pasaman Barat, Sumatera Barat; serta Indramayu, Jawa Barat.
Selain itu, dua putusan lainnya terkait tindakan memalsukan daftar dukungan calon perseorangan yang dikenakan Pasal 185A, terjadi di Membramo Raya dan Waropen, Papua. Sementara, satu putusan lainnya terhadap wali kota menggunakan wewenang, kegiatan, dan program yang menguntungkan/merugikan salah satu paslon (Pasal 188 juncto Pasal 71 ayat 3) terjadi di Sungai Penuh, Jambi.
"Salah satu calon di Provinsi Jambi ini di Kota Sungai Penuh adalah anak dari wali kota yang sedang menjabat saat ini," kata Ratna.
Satu putusan lain yakni kasus penyelenggara pemilu yang menghilangkan hak seseorang menjadi calon dan dikenakan Pasal 180 ayat 1 terjadi di Supiori, Papua. Berikutnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan dan dikenakan pasal 185B terjadi di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Lalu tindakan memberi dan/atau menjanjikan uang dan/atau materi lainnya (politik uang) yang melanggar Pasal 187A, terjadi di Pelalawan, Riau; Tangerang Selatan, Banten; serta Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, pelanggaran kampanye dengan menganjurkan kekerasan yang dilarang dalam Pasal 187 ayat 2 terjadi di Sumbawa Barat, NTB, serta pelanggaran Pasal 187 ayat 2 juncto Pasal 69 huruf c terjadi Belitung Timur, Bangka Belitung.